Senin, 08 Desember 2014

MAKALAH TENTANG URF



B. PEMBAHASAN
1. Pengertian URF
Secara harfiah urf adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah di kenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkanya. Di kalangan masyarakat, urf sering disebut sebagai adat.
Pengertian di atas, juga sama dengan pengertian istilah ahli syara’. Di antara contoh urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian di antara manusia tentang jual-beli tampa mengucapkan shigat. Sedangkan contoh urf yang bersifat ucapan adalah tentang adanya kemutlakan lafal al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan juga tentang meng-itlak-kan lafaz al-lahm yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
Dengan demikian urf mencangkup sikap saling pengertian di antara manusia atas perbedaan tingkatan di antara mereka, baik keumumannya maupun kekhususanya. Maka urf berbeda dengan ijma, karena ijma merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus.
2. Macam-Macam URF
Urf terdiri dari dua macam, yakni urf shahih dan urf fasid (rusak) :
a.       Urf shahih adalah sesuatu yang telah saling di kenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara, tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib. Contohnya adanya sifat saling pengertian antara manusia tentang kontrak borongan, pembagian mas kawin (mahar) yang di dahulukan dan di akhirkan. Begitu juga istri tidak boleh menyerahkan dirinya kepada suaminya sebelum ia menerima sebagian dari maharnya. Juga tentang sesuatu yang telah di berikan seorang pelamar (calon suami) kepada calon istri, berupa perhiasan, pakaian atau apa saja, yang di anggap sebagai hadiah dan bukan merupakan sebagian dari mahar.
b.      Adapun urf fasid adalah sesuatu yang telah saling di kenal manusia tetapi bertentangan dengan syara, atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. Seperti adanya saling pengertian manusia tentang beberapa perbuatan munkar dalam ucapan kelahiran anak, juga tentang memakan barang riba dan kontrak judi.
3. Hokum URF
a. URF Shahih Dan Pandangan Para Ulama
            Seperti telah di sepakati bahwa urf shahih itu harus di pelihara dalam pembentukan hokum dan pengadilan. Maka seorang mujtahid di haruskan untuk memeliharanya ketika ia menentukan hokum. Begitu juga seorang qadhi (hakim) harus memeliharanya ketika sedang mengadili. Sesuatu yang telah di kenal manusia meskipun tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi telah di sepakati dan di anggap mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta selama hal itu tidak bertentangan dengan syara harus di pelihara.
            Dan syar’i pun telah memelihara urf bagsa arab yang shahih dalam membentuk hokum, maka di fardukanlah diat (denda) atas perempuan yang berakal, di syaratkan kafa’ah (kesesuaian) dalam hal perkawinan,  dan di perhitungkan pula adanya ashabah (ahli waris yang bukan penerima pembagian pasti dalam hal kematian dan pembagian harta pusaka).
            Di antara para ulama ada yang berpendapat “adat adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hokum”, begitu juga dengan URF menurut syara mendapat pengakuan hokum. Imam malik mendasarkan sebagian hukumnya pada perbuatan penduduk madinah. Abu hanifah bersama murid-muridnya berbeda pendapat tentang beberapa hokum dengan dasar atas perbuatan urf mereka. Sedangkan imam syafi’i ketika sudah berada di mesir, mengubah sebagian pendapatnya tentang hokum yang telah di keluarkanya ketika beliau berada di bagdad. Hal ini karena perbedaan urf, maka tidak heran beliau mempunyai dua mazhab, mazhab qadim (terdahulu/pertama) dan madzhab jaded (baru).
            Begitu pula dengan fiqh hanafiah, banyak hokum-hukum yang berdasarkan urf, di antaranya apabila berselisih antara dua orang terdakwa dan tidak terdapat saksi bagi salah satunya, maka pendapat yang di benarkan (di menangkan) adalah pendapat orang yang di saksikan urf. Apabila suami istri tidak sepakat tentang mahar muqaddam (terdahulu) atau muakhar (terakhir) maka hukumnya adalah urf. Barang siapa bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia makan ikan tawar, maka bukan berarti ia melanggar sumpahnya berdasarkan urf.
Pendapat yang di nukil itu adalah sah apabila telah menjadi urf. Jadi, syarat sah akad itu apabila ketentuan hal tersebut terdapat dalam syara, atau apabila dituntut oleh akad atau apabila berjalan padanya urf. Al-marhum ibnu abiding telah menyusun risalah yang telah ia namakan “menyebarkan urf di antara hokum-hukum yang di bentuk berdasarkan urf. Di antara pendapatnya yang terkenal, “apa-apa yang di mengerti secara urf adalah seperti yang di isyaratkan menurut syara, dan apa-apa yang telah tetap menurut urf adalah seperti yang telah di tetapkan menurut nash”.
b.      Hokum URF fasid
Adapun urf yang rusak, tidak di haruskan memeliharanya, karena memeliharanya berarti menentang dalil syara atau membatalkan dalil syara. Apabila manusia telah saling mengerti akad-akad yang rusak seperti akad riba dan akad gharar atau khathar (tipuan dan membahayakan), maka bagi urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkanya.
Dalam undang-undang positif manusia, urf yang bertentangan dengan undang-undang umum tidak di akui, tetapi dalam contoh akad ini bisa di tinjau dari segi lain, yaitu apakah akad itu di anggap darurat atau sesuai dengan hajat manusia ? artinya apabila akad tersebut membatalkan, maka berarti menipu aturan kehidupan mereka atau mereka akan memperoleh kesulitan. Jika hal itu termasuk darurat atau kebutuhan mereka, akad itu di perbolehkan , karena dalam keadaan darurat di bolehkan melakukan hal-hal yang telah di haramkan, sedang hajat itu bisa menempati kedudukan hajat darurat. Namun jika tidak termasuk darurat atau kebutuhan mereka, maka di hukumi dengan batalnya akad tersebut dan berdasarkan hal ini urf tidak di akui.
Hokum-hukum yang di dasarkan urf itu dapat berubah menurut perubahan zaman dan perubahan asalnya. Karena itu, para fuqaha berkata, “perselisihan itu merupakan perselisihan zaman dan masa, bukan perselisihan hujjah dan bukti.
4. Kehujjahan URF
Urf menurut penyelidikan bukanlah merupakan dalil syara tersendiri. Pada umumnya, urf di tunjukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hokum dan penafsiran beberapa nash. Dengan urf di khususkan lafal yang amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena urf pula terkadang qiyas itu di tinggalkan. Karena itu sah mengadakan kontrak borongan apabila urf sudah terbiasa dalam hal ini, sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada).
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Secara harfiah urf adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah di kenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkanya. Di kalangan masyarakat, urf sering disebut sebagai adat.
            Urf juga telah ada sejak zaman dahulu, mulai dari iman hanafi, syafii yang merubah hokum urf nya yang di bagdad setelah sampai di mesir dan lain sebagainya. namun terkadang urf membuat qiyas tidak di gunakan. Dengan alasan perubahan masa dan zaman dan penyesuaian adat istiadat.
2. Kritik Dan Saran
            Dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan yang perlu di lengkapi. Maka dengan ini kami sangat mengharapkan kritikan, masukan dan saran. Yang insya allah akan membuat makalah ini menjadi bermanfaat di kemudian hari.

Akhirul kalam..
Wallahulmuwafieq illa aqwamithoriq…
Wassalamu alaikum…wr…wb…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar