Senin, 08 Desember 2014

MAKALAH TENTANG QIYAS



A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah (al-kitab wa sunnah).Dengan demikian, sumber hukum Islam terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.
Seiring perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan dalam proses interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist merupakan sumber hukum yang masih universal penjelasannya. Sehingga dibutuhkan ijtihad para mujtahid. Tidak bisa dipungkiri bahwa amalan para mujtahid masih sangat diperlukan dalam menginstinbathkan hukum syara. Sebab ada hal-hal tertentu dalam hukum syara` yang memang masih butuh penjelasan lebih lanjut. Biasanya yang menjadi objek dari qiyas ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan cabang bukan pokok dari suatu perkara hukum syara`.
Biasanya untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-quran maupun al-hadits. Qiyas menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan baru dalam dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan zaman. Untuk itu penganalogian masalah hukum dengan tetap memperhatikan al-quran dan hadits sebagai acuan pokok menjadi sangat penting untuk menghindari perpecahan dan kebutaan umat terhadap perkara hukum syara`. Maka diperlukan Qias sebagai sumberhukum islam yang ke 4. olehnya itu, pada pembahasan makalah kami ini akan memaparkan sedikit tentang qiyas.
2.      Rumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan makalah ini pada sasaran, maka perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
a.       Apakah pengertian qiyas?
b.      Apakah syarat dan rukun qiyas?
c.       Apa sajakah Jenis/ macam-macam qiyas?
d.      Apakah qiyas tidak dibenarkan dalam Islam?
e.       Apakah qiyas merupakan hal yang sangat penting?
f.       Apakah qiyas masih berlaku hingga saat ini?




B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Ada beberapa golongan pendapat. Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yaitu pandangan para mujtahid. Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat illahiyah yang dibuat syari' sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum.[1][1] Ulama ushul fiqih memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan Qiyas dan Istinbath hukum.
a.       Al-Ghazali dalam al-Mustahfa
"Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
b.      Qadhi Abu Bakar
“Menanggung sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya”.
c.       Ibnu Subki
Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkannya (mujtahid).
d.      Abu Zahrah
Menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘‘‘illat hukum.
e.       Ibnu Qudamah
Menanggungkan (menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.
f.       Ibnu al-Hummam
Samanya suatu wadah (tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘‘‘illat hukumnya. Bagiannya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi kebiasaan.
g.      Abu Hasan al-Bashri
“Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu” karena keduanya sama dengan ‘‘illat hukum menurut para mujtahid”.[2][2]
h.      Al-Human
Qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘‘illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.[3][3]
2.      Rukun Qiyas
a.       Ashl (pokok),
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat menqiyaskan. Ini bedasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqish alaih (yang dijadikan tempat menqiyaskan), mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau masyabbah bin (tempat menyerupakan).[4][4]
Menurut sebagian besar ulama fiqih, sumber hukum yang dipergunakan sebagai dasar qiyas harus berupa nash, baik nash Al-Quran atau hadis atau ijma’. Jadi tidak boleh mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.

Pembatasan sumber hukum tersebut berdasarkan:
·         Bahwa nash hukum merupakan sumber dan dasar dari segala hukum. Sedang sumber hukum lain apapun bentuknya bergantung pada nash tersebut. Dengan demikian nash hukum itu harus dijadikan sebagai dasar bagi bangunan qiyas.
·         Nash hukum dengan berbagai bentuk dan kemungkinan kandungannya mengandung isyarat adanya ‘‘illat. Dengan menggunakan pemahaman isyarat kita dapat menemukan ‘‘illat.
·          Sesungguhnya qiyas sendiri berpegang dengan Al-Quran dan hadis.
Sebagian besar ulama menetapkan bolehnya mengqiyaskan sesutau berdasarkan hukum yang ditetapkan dengan ijma’, sebab sandaran ijma’ adalah nash, meskipun tidak selalu tegas menunjukkan hukum.
b.      Al-Hukm
Al-Hukm adalah hukum ketetapan nash, baik AL-Quran maupun hadis, atau ketetapan ijma’ (bagi orang yang menganggapnya sebagai sumber hukum asal) yang hendak ditransfer pada kasus-kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan.
Penetapan hukum asal pada kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan antara keduanya, harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
·         Harus berupa hukum syara’ yang amaliah.
Qiyas hukum tidak akan terjadi kecuali  pada hukum-hukum yang bersifat amaliah, karena itulah yang menjadi sasaran atau obyek fiqih Islam, karena kerangka luas.
·         Harus berupa hukum yang rasional (ma’qulul ma’na)
Hukum rasional ialah suatu hukum yang apat ditangkap sebab dan alasan penetapannya, atau setidak-tidaknya mengandung isyarat akan sebab-sebab itu.
Sebaliknya hukum yang tidak rasional, tidak mampu ditangkap sebab-sebabnya oleh akal, seperti hukum tayamum dan jumlah rakaat sholat. Oleh sebab itu, di sini tidak berlaku hukum qiyas.[5][5]
c.       Far’u
Far’u Adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya.[6][6]
Al-far’u ialah kasus yang hendak diketahui hukumnya melalui qiyas terhadap hukum asalnya. Al-far’u atau kasus baru itu harus memenuhi dua persyaratan:
·         Kasus itu belum terdapat nash hukumnya dalam Al-Quran dan Hadis. Sebab, qiyas tidak berlaku pada hukum-hukum yang sudah jelas nashnya. Prinsip qiyas ialah mempertemukan kasus hukm baru yang belum ada nashnya. Oleh sebab itu tidaklah logis menetapkan hukum Qiyas terhadap kasus hukum yang sudah ada nsihatnya.
·          ‘illat hukum itu harus benar-benar terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya dengan ‘‘illat hukum asal. Apabila ‘‘illat dilarangnya meminum minuman khamer itu ‘memabukkan’ maka setiap
·         Minuman atau makanan yang memabukkan sama hukumnya dengan khomer, yaitu haram. Sebaliknya apabila makanan atau minuman itu tidak memabukkan, misalnya sekedar membuat orang pusing, baik karena faktor orang yang meminum atau faktor makanan atau minuman yang bersifat sementara selama tidak memabukkan, maka makanan atau minuman tersebut tidak haram, seperti khomer. Alasannya : tidak adanya kesamaan ‘illat. Makanan dan minuman jenis ini memanglah tidak memabukkan, berbeda dengan khomer yang mempunyai sifat yang memabukkan.

d.      ‘Illat
‘Illat adalah pokok yang menjadi landasan qiyas. Imam Fahrul Islam al-Bazdawi telah menegaskan bahwa ‘‘illat merupakan rukun qiyas dan landasan dari bangunan qiyas. Sebagian ulama mendefinisikan ‘illat sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Orang yang mengakui adanya ‘illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas. Kami berpendapat, dalam memandang ‘illat, para ulama terbagi menjadi tiga golongan:
·         Golongan yang pertama (mazhab Hanafiah dan Jumhur) berpendapat bahwa nash-nash hukum pasti memiliki ‘illat. Selanjutnya mereka mengatakan :”sesungguhnya sumber hukum asal adalah  ‘illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
·         Golongan kedu beranggapan sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya ‘illat.
·         Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang menganggap tidak adanya ‘illat hukum.
Lima syarat yang mensyahkan ‘illat manjadi dasar qiyas ialah sebagai berikut:
·         ‘illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi sesuatu yang menentukan.
·          ‘illat harus kuat, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi maupun keadaan lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan yang terjadi secara definitif.
·         Harus ada kolerasi (hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi ‘illat.
·         Sifat-sifat yang menjadi ‘illat yang kemudian  melahirkan qiyas harus berjangkauan luas (muta’addy), tidak terbatas hanya pada satu hukum tertentu.
·         Syarat yang terakhir bahwa sifat yang menjadi ‘illat itu tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil.
3. Syarat-Syarat Qiyas
Qiyas itu di tegakan di atas empat rukun qiyas , yaitu perkara ashal, perkara furu’, hukum ashal dan illat hukum.
a. Syarat hukum ashal
·         Hukum ashal hendaknya di tetapkan oleh Al-Qur’an seperti keharaman khamar sebagaimana yang telah di jelaskan sebelumnya atau hukum ashal hendaknya di tetapkan oleh hadist
·         Hukum ashal itu hendaknya dapat di salami akal (ma’kulul ma’na).  Maksudnya akal mampu menentukan illatnya seperti keharaman khamar.
·         Hukum ashal hendaknya bukan merupakan hukum yang khusus. Sebab hukum yang khusus tidak bisa di berlakukan kepada furu’ dengan cara qiyas.


b. Syarat-syarat furu’
·         Tidak ada nash dan ijma yang menetapkan hukum furu’ sebab qiyas ketika terdapat nash atau ijma yang bertentangan dengannya, maa qiyas tersebut merupakan qiyas yang batal (fasid) dan berdasarkan kepada illat yang tidak di benarkan.
·         Antara furu’ dan ashal harus sama illat hukumnya, tidak ada berbedaan antara keduanya, sehingga tidak ada mengqiyaskan sesuatu dengan berbeda.
c. Syarat-syarat illat
Syarat-syarat illat yang telah di sepakati para ulama ushul itu ada empat macam:
·         Illat itu berupa sifat yang jelas
·         Illat itu harus berupa sifat yang sudah pasti
·         Illat itu harus berupa sifat yang sesuai (munasib) dengan hikmah hukum
·         Illat itu bukan hanya terdapat pada asal (pokok) saja.
4.  Macam-Macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya ‘illah yang ada pada ashal dan furu’, adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi 3 yaitu:
a.    Qiyas aula,
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibbkan adanya hukum. Dan antara hukum asal dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum cabang memiliki hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitakan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman allah SWT QS. Al-Isra’ (17): 23.

* 4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ

Artinya : “Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan “ah”, “busyet” dan sebagainya hukumnya lebih utama.

b. Qiyas Musaway,
Yaitu qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada pada al-ashlu maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman allah Surah an-Nisa’ (4):10.
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( šcöqn=óÁuyur #ZŽÏèy ÇÊÉÈ
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.

c.  Qiyas Adna
Yang dimaksud dengan qiyas ini yaitu adanya hukum al-far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum al-ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini ‘illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar.[7][7]

d.  Qiyas Dalalah,
Yaitu ‘illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi hukum tetapi tidak diwajibkan furu’ seperti mengqiyaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah sampai senisab, tetapi bai anak-anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya diqiyaskan pada haji tidak wajib bagi anak-anak.[8][8]

e.  Qiyas Syabah
Adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan diantara kedua pangkal kemana yang paling banyak menyamai. Seperti budak yang di bunuh mati, dapat diqiyaskan dengan orang yang merdeka karena sama-sama keturunan adam.[9][9]
5. Kedudukan Dan Kehujahan Qiyas
qèd üÏ%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏd̍»tƒÏŠ ÉA¨rL{ ÎŽô³ptø:$# 4 $tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøƒs ( (#þqZsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨B NåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r'sù ª!$# ô`ÏB ß]øym óOs9 (#qç7Å¡tGøts ( t$xs%ur Îû ãNÍkÍ5qè=è% |=ôã9$# 4 tbqç/̍øƒä NåksEqãç/ öNÍkÏ÷ƒr'Î/ Ï÷ƒr&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçŽÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»tƒ ̍»|Áö/F{$# ÇËÈ
Artinya : Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama[1463]. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
[1463]  yang dimaksud dengan ahli Kitab ialah orang-orang Yahudi Bani Nadhir, merekalah yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir keluar dari Madinah.
Allah menyuruh menggunakan qiyas seperti pada surat al-hasyr ayat 2
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”[10][10]
Jumhur ulama telah mendatangkan dalil-dalil dari syariat untuk mendukung kehujjahan qiyas, dan sekaligus membantah golongan-golongan yang mengingkari dan peniadaan kehujjahan qiyas dalam syari’at golongan terakhir ini disebut nuffatul qiyas (penolak qiyas).
Berikut ini adalah dalil-dalil kehujjahan qiyas :
·         Bahwa syari’at islam datang untuk mengatur kehidupan manusia; memelihara hubungan mereka secar khusus maupun yang umum di antara individu  dan masyarakat;
Allah yang maha suci tidaklah mengutus para nabi dan rasul kepada manusia kecuali sebagai rahmat alam semesta.Allah berfirman:
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus kamu ( muhammad   ) malainkan sebagai rahmat bagi alam semesta (al-anbiya’:107)”.
·         Bahwa al-qur’an telah mempergunakan qiyas dalam mencukupkan dan menetapkan hujjah serta menjelaskan sebagai hukum dan menetapkannya jika sama, dan menghilangkannya jika berbeda.
·         Bahwa al-qur’an telah banyak menyuruh manusia untuk mengambil I’tibar (pelajaran) dalam berbagai peristiwa.
·         Bahwa para sahabat  telah berjima’ atas kehujjahan qiyas.
·         Bahwa nash-nash al-qur’an dan as sunnah adalah terbatas dan sudah selesai sedangkan peristiwa-pristiwa atau kejadian-kejadian zaman tiada henti-hentinya terjadi.
6. Tempat Berlakunya Qiyas
Di lihat dari sebagian ulama bahwa qiyas berlaku pada semua hukum syari’ah, meskipun dalam perkara hudud, kafarat, taqditar ( hukum-hukum yang telah di tetapkan ) dan hukum-hukum perkecualian, apabila syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Sebab dalil yang mendukung atas kehujjahannya tidak membeda-bedakan antara satu macam hukum dengan hukum-hukum yang lain.
Dari golongan Hanafiayah berpendapat bahwa qiyas tidak berlaku pada masalah hudud ( pidana yang telah di tetapkan nash ) sebab ia termaksuk batas yang telah di tetapkan Allah, yang tidak bisa di ketahui illatnya oleh akal. Sedangkan qiyas juga syubhat, sebab ia menunjukan pada hukum dengan cara yang dhonni, bukan qat’hi. Maka uqubat yang telah di wajibkan tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang qat’hi.(11)
7. Keraguan-Keraguan Penolak Qiyas
An-Nadhdham dari kalangan mu’tazilah, dan segolongan ulama syiah berpendapat bahwa qiyas tidaklah termaksuk hujjah dalam syari’at islam dasar mereka adalah:(12)
·         Bahwa qiyas dalam syari’at (islam) tidak di perlukan. Sebab tidak ada tempat padanya. Nash-nash yang ada di dalam Al-qur’an ada yang menjelaskan sebagian hukum sesuatu dengan terang dan jelas. Seperti yang menyatakan wajib, haram, sunnat, makruh dan mubah.
·         Bahwa qiyas itu di tegakan di atas dhonni, sebagaimana di nyatakan Al-qur’an dan tidak boleh di amalkan, Allah berfirman:
artinya : “janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu sendiri tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu”.
·         Bahwa Allah, sebagaimana yang di katakana An-nadhdhom, telah membedakan di antara dua hukum yang serupa, yaitu ketika memotong tangan pencuri, tetapi tidak memotong tangan perampok. Memotong tangan jika yang di curi itu ada empat dinar, tetapi menjadikan diyatnya lima ratus dinar dan mewajibkan hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berzinah tetapi tidak mewajibkan hukuman atas orang yang menuduh kepada orang lain.
Dengan adanya perbedaan-perbadaan hukum di antara masalah-masalah ini adalah karena tidak adanya kesamaan illat yang menjadi dasar hukumnya.


 

11(11)http://rahmathariry.blogspot.com/2012/02/qiyas-makalah.html
12(12)http://rahmathariry.blogspot.com/2012/02/qiyas-makalah.html
C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Qiyas adalah proses penyelesaian masalah dalam ajaran agama islam, yang permasalahan tersebut tidak di temukan dalam qur’an dan hadis. Sehingga diambilah langkah pengkiasan atau penyamaan.
Contohnya antara narkoba dalam kehidupan sekarang, di kias dari khamar dalam aturan islam haram.

Pendapat yang mengatakan bahwa qiyas tidaklah bersandarkan al-quran maupun hadist tidaklah benar. Karena sesuatu yang diqiyaskan melihat kembali pada permasalahan yang diselesaikan melalui  al-quran dan hadist.

Qiyas sangatlah penting dalam kehidupan sekarang ini, dilihat dari perkembangan permasalahan ummat yang kian berkembang dan tentu perbedaan kehidupan pada masa yang berbeda akan melahirkan masalah dan problematika yang berbeda pula.

2.      Saran
Kami selaku pemakalah menyadari bahwa terdapat kekurangan dalam proses penyusunan makalah ini, oleh sebab itu kritik dan saran dari pembaca sangat di perlukan. Guna memperbaiki sekaligus menyempurnakan makalah ini, yang insya allah berguna pada generasi yang selanjutnya.

Akhirul qalam,,,
Wallahulmuwafiq illa aqwamithorik
Wassalamualaikum…war…wab…


[1][1]         Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung, Pustaka Setia, 1998), hal 68

[2][2]         Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, ( Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 144-145
[3][3]         Rachmat Syafe’i,. op. Cit., hal. 87
[4][4]         Rachmat Syafe’i,. op. Cit h. 87
[5][5]         Muhammad Abu Zahrah,. Op. Cit.,  h. 352-352
[6][6]         Drs. Chaerul Uman, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung, Pustaka setia, 2000), hal, 96
[7][7]         Drs. H. Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1978), hal. 44-45
[8][8]         DRS. Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1994), hal 49
[9][9]         Moh. Mukri,. Op. Cit., h 45
[10][10]    Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2008), hal 179

Tidak ada komentar:

Posting Komentar