A.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Dinamika
hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah yang
berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi
hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah
(al-kitab wa sunnah).Dengan demikian, sumber hukum Islam terdiri atas:
al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut,
dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu:
syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi (qaul al-shahabi),
kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.
Seiring
perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan dalam proses
interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist merupakan sumber
hukum yang masih universal penjelasannya. Sehingga dibutuhkan ijtihad para
mujtahid. Tidak bisa dipungkiri bahwa amalan para mujtahid masih sangat diperlukan
dalam menginstinbathkan hukum syara. Sebab ada hal-hal tertentu dalam hukum
syara` yang memang masih butuh penjelasan lebih lanjut. Biasanya yang menjadi
objek dari qiyas ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan cabang bukan pokok
dari suatu perkara hukum syara`.
Biasanya
untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-quran maupun
al-hadits. Qiyas menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan
baru dalam dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan
zaman. Untuk itu penganalogian masalah hukum dengan tetap memperhatikan
al-quran dan hadits sebagai acuan pokok menjadi sangat penting untuk
menghindari perpecahan dan kebutaan umat terhadap perkara hukum syara`. Maka
diperlukan Qias sebagai sumberhukum islam yang ke 4. olehnya itu, pada
pembahasan makalah kami ini akan memaparkan sedikit tentang qiyas.
2.
Rumusan
Masalah
Untuk lebih memfokuskan makalah ini pada
sasaran, maka perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
a.
Apakah pengertian qiyas?
b.
Apakah syarat dan rukun qiyas?
c.
Apa sajakah Jenis/ macam-macam qiyas?
d.
Apakah qiyas tidak dibenarkan dalam Islam?
e.
Apakah qiyas merupakan hal yang sangat penting?
f.
Apakah qiyas masih berlaku hingga saat ini?
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Qiyas
Qiyas
menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan
sesuatu dengan sejenisnya.
Ada
beberapa golongan pendapat. Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan
ciptaan manusia, yaitu pandangan para mujtahid. Sebaliknya menurut golongan
kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang
berdiri sendiri atau merupakan hujjat illahiyah yang dibuat syari' sebagai alat
untuk mengetahui suatu hukum.[1][1] Ulama ushul fiqih
memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap
kedudukan Qiyas dan Istinbath hukum.
a. Al-Ghazali
dalam al-Mustahfa
"Menanggungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum
pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal sama
antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
b. Qadhi
Abu Bakar
“Menanggung
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum
pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya”.
c. Ibnu
Subki
Menghubungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang sudah diketahui kesamaannya dalam ‘‘illat
hukumnya menurut pihak yang menghubungkannya (mujtahid).
d. Abu
Zahrah
Menghubungkan
suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada
nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘‘‘illat hukum.
e. Ibnu
Qudamah
Menanggungkan
(menghubungkan) furu’ kepada ashal dalam hukum karena ada hal yang sama (yang
menyatukan) antara keduanya.
f. Ibnu
al-Hummam
Samanya
suatu wadah (tempat berlakunya hukum) dengan yang lain dalam ‘‘‘illat
hukumnya. Bagiannya ada artian syar’i yang tidak dapat dipahami dari segi
kebiasaan.
g. Abu
Hasan al-Bashri
“Menghasilkan
(menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dengan ‘‘illat
hukum menurut para mujtahid”.[2][2]
h. Al-Human
Qiyas
adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan ‘‘illat
hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.[3][3]
2.
Rukun
Qiyas
a.
Ashl (pokok),
Yaitu
suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat menqiyaskan. Ini
bedasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog
adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain,
suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqish alaih (yang
dijadikan tempat menqiyaskan), mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau masyabbah
bin (tempat menyerupakan).[4][4]
Menurut
sebagian besar ulama fiqih, sumber hukum yang dipergunakan sebagai dasar qiyas
harus berupa nash, baik nash Al-Quran atau hadis atau ijma’. Jadi tidak boleh
mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Pembatasan
sumber hukum tersebut berdasarkan:
·
Bahwa nash hukum
merupakan sumber dan dasar dari segala hukum. Sedang sumber hukum lain apapun
bentuknya bergantung pada nash tersebut. Dengan demikian nash hukum itu harus
dijadikan sebagai dasar bagi bangunan qiyas.
·
Nash hukum dengan
berbagai bentuk dan kemungkinan kandungannya mengandung isyarat adanya ‘‘illat.
Dengan menggunakan pemahaman isyarat kita dapat menemukan ‘‘illat.
·
Sesungguhnya qiyas sendiri berpegang dengan
Al-Quran dan hadis.
Sebagian
besar ulama menetapkan bolehnya mengqiyaskan sesutau berdasarkan hukum yang
ditetapkan dengan ijma’, sebab sandaran ijma’ adalah nash, meskipun tidak
selalu tegas menunjukkan hukum.
b. Al-Hukm
Al-Hukm
adalah hukum ketetapan nash, baik AL-Quran maupun hadis, atau ketetapan ijma’
(bagi orang yang menganggapnya sebagai sumber hukum asal) yang hendak
ditransfer pada kasus-kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan.
Penetapan
hukum asal pada kasus hukum baru karena adanya unsur persamaan antara keduanya,
harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
·
Harus berupa hukum
syara’ yang amaliah.
Qiyas
hukum tidak akan terjadi kecuali pada
hukum-hukum yang bersifat amaliah, karena itulah yang menjadi sasaran atau
obyek fiqih Islam, karena kerangka luas.
·
Harus berupa hukum yang
rasional (ma’qulul ma’na)
Hukum
rasional ialah suatu hukum yang apat ditangkap sebab dan alasan penetapannya,
atau setidak-tidaknya mengandung isyarat akan sebab-sebab itu.
Sebaliknya
hukum yang tidak rasional, tidak mampu ditangkap sebab-sebabnya oleh akal,
seperti hukum tayamum dan jumlah rakaat sholat. Oleh sebab itu, di sini tidak
berlaku hukum qiyas.[5][5]
c. Far’u
Far’u
Adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang
tegas dalam menentukan hukumnya.[6][6]
Al-far’u
ialah kasus yang hendak diketahui hukumnya melalui qiyas terhadap hukum
asalnya. Al-far’u atau kasus baru itu harus memenuhi dua persyaratan:
·
Kasus itu belum
terdapat nash hukumnya dalam Al-Quran dan Hadis. Sebab, qiyas tidak berlaku
pada hukum-hukum yang sudah jelas nashnya. Prinsip qiyas ialah mempertemukan
kasus hukm baru yang belum ada nashnya. Oleh sebab itu tidaklah logis
menetapkan hukum Qiyas terhadap kasus hukum yang sudah ada nsihatnya.
·
‘‘illat hukum itu harus benar-benar
terwujud dalam kasus baru, sama jelasnya dengan ‘‘illat hukum asal.
Apabila ‘‘illat dilarangnya meminum minuman khamer itu ‘memabukkan’ maka
setiap
·
Minuman atau makanan
yang memabukkan sama hukumnya dengan khomer, yaitu haram. Sebaliknya apabila
makanan atau minuman itu tidak memabukkan, misalnya sekedar membuat orang
pusing, baik karena faktor orang yang meminum atau faktor makanan atau minuman
yang bersifat sementara selama tidak memabukkan, maka makanan atau minuman
tersebut tidak haram, seperti khomer. Alasannya : tidak adanya kesamaan ‘illat.
Makanan dan minuman jenis ini memanglah tidak memabukkan, berbeda dengan khomer
yang mempunyai sifat yang memabukkan.
d. ‘Illat
‘Illat
adalah pokok yang menjadi landasan qiyas. Imam Fahrul Islam al-Bazdawi telah
menegaskan bahwa ‘‘illat merupakan rukun qiyas dan landasan dari
bangunan qiyas. Sebagian ulama mendefinisikan ‘illat sebagai suatu sifat
lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum.
Orang
yang mengakui adanya ‘illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya
qiyas. Kami berpendapat, dalam memandang ‘illat, para ulama terbagi
menjadi tiga golongan:
·
Golongan yang pertama
(mazhab Hanafiah dan Jumhur) berpendapat bahwa nash-nash hukum pasti memiliki ‘illat.
Selanjutnya mereka mengatakan :”sesungguhnya sumber hukum asal adalah ‘illat hukum itu sendiri, hingga ada
petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
·
Golongan kedu
beranggapan sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat,
kecuali ada dalil yang menentukan adanya ‘illat.
·
Golongan ketiga ialah
ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang menganggap tidak adanya ‘illat
hukum.
Lima
syarat yang mensyahkan ‘illat manjadi dasar qiyas ialah sebagai berikut:
·
‘illat harus berupa
sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi sesuatu yang menentukan.
·
‘illat harus
kuat, tidak terpengaruh oleh perubahan individu, situasi maupun keadaan
lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasi seluruh perubahan
yang terjadi secara definitif.
·
Harus ada kolerasi
(hubungan yang sesuai) antara hukum dengan sifat yang menjadi ‘illat.
·
Sifat-sifat yang
menjadi ‘illat yang kemudian melahirkan
qiyas harus berjangkauan luas (muta’addy), tidak terbatas hanya pada satu hukum
tertentu.
·
Syarat yang terakhir
bahwa sifat yang menjadi ‘illat itu tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil.
3. Syarat-Syarat
Qiyas
Qiyas
itu di tegakan di atas empat rukun qiyas , yaitu perkara ashal, perkara furu’,
hukum ashal dan illat hukum.
a.
Syarat hukum ashal
·
Hukum ashal hendaknya
di tetapkan oleh Al-Qur’an seperti keharaman khamar sebagaimana yang telah di
jelaskan sebelumnya atau hukum ashal hendaknya di tetapkan oleh hadist
·
Hukum ashal itu
hendaknya dapat di salami akal (ma’kulul ma’na). Maksudnya akal mampu
menentukan illatnya seperti keharaman khamar.
·
Hukum ashal hendaknya
bukan merupakan hukum yang khusus. Sebab hukum yang khusus tidak bisa di
berlakukan kepada furu’ dengan cara qiyas.
b.
Syarat-syarat furu’
·
Tidak ada nash dan ijma
yang menetapkan hukum furu’ sebab qiyas ketika terdapat nash atau ijma yang
bertentangan dengannya, maa qiyas tersebut merupakan qiyas yang batal (fasid)
dan berdasarkan kepada illat yang tidak di benarkan.
·
Antara furu’ dan ashal
harus sama illat hukumnya, tidak ada berbedaan antara keduanya, sehingga tidak
ada mengqiyaskan sesuatu dengan berbeda.
c.
Syarat-syarat illat
Syarat-syarat
illat yang telah di sepakati para ulama ushul itu ada empat macam:
·
Illat itu berupa sifat
yang jelas
·
Illat itu harus berupa
sifat yang sudah pasti
·
Illat itu harus berupa
sifat yang sesuai (munasib) dengan hikmah hukum
·
Illat itu bukan hanya terdapat
pada asal (pokok) saja.
4. Macam-Macam Qiyas
Qiyas
mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada
tingkat kekuatan hukum karena adanya ‘illah yang ada pada ashal dan furu’,
adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi 3 yaitu:
a. Qiyas aula,
Yaitu
qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibbkan adanya hukum. Dan antara hukum asal
dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum cabang memiliki hukum yang lebih
utama daripada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya berkata kepada kedua orang
tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau kata-kata lain yang semakna dan
menyakitakan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman allah SWT QS. Al-Isra’
(17): 23.
* 4Ó|Ós%ur y7/u wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Artinya
: “Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia.”
Lalu
diqiyaskan memukul dengan perkataan “ah”, “busyet” dan sebagainya hukumnya
lebih utama.
b. Qiyas Musaway,
Yaitu
qiyas yang apabila ‘illahnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang
ada pada al-ashlu maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang). Contohnya,
keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman allah Surah an-Nisa’
(4):10.
¨bÎ)
tûïÏ%©!$#
tbqè=à2ù't
tAºuqøBr&
4yJ»tGuø9$#
$¸Jù=àß
$yJ¯RÎ)
tbqè=à2ù't
Îû
öNÎgÏRqäÜç/
#Y$tR (
cöqn=óÁuyur #ZÏèy ÇÊÉÈ
Artinya
: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dapat
mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau
salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti
memakan harta anak yatim tersebut.
c. Qiyas Adna
Yang
dimaksud dengan qiyas ini yaitu adanya hukum al-far’u lebih lemah bila dirujuk
dengan hukum al-ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum
dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar
menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini
‘illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang
bisa dimakan dan ditakar.[7][7]
d. Qiyas Dalalah,
Yaitu
‘illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi hukum tetapi tidak
diwajibkan furu’ seperti mengqiyaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada
harta orang dewasa yang telah sampai senisab, tetapi bai anak-anak tidak wajib
mengeluarkan zakatnya diqiyaskan pada haji tidak wajib bagi anak-anak.[8][8]
e. Qiyas Syabah
Adalah
mengqiyaskan cabang yang diragukan diantara kedua pangkal kemana yang paling
banyak menyamai. Seperti budak yang di bunuh mati, dapat diqiyaskan dengan
orang yang merdeka karena sama-sama keturunan adam.[9][9]
5. Kedudukan Dan Kehujahan
Qiyas
qèd üÏ%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏdÌ»tÏ ÉA¨rL{ Îô³ptø:$# 4 $tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøs ( (#þqZsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨B NåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r'sù ª!$# ô`ÏB ß]øym óOs9 (#qç7Å¡tGøts ( t$xs%ur Îû ãNÍkÍ5qè=è% |=ôã9$# 4 tbqç/Ìøä NåksEqãç/ öNÍkÏ÷r'Î/ Ï÷r&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»t Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ
Artinya : Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir
di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang
pertama[1463]. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun
yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa)
Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan.
[1463] yang dimaksud dengan ahli Kitab ialah
orang-orang Yahudi Bani Nadhir, merekalah yang mula-mula dikumpulkan untuk
diusir keluar dari Madinah.
Allah menyuruh
menggunakan qiyas seperti pada surat al-hasyr ayat 2
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”[10][10]
Jumhur
ulama telah mendatangkan dalil-dalil dari syariat untuk mendukung kehujjahan
qiyas, dan sekaligus membantah golongan-golongan yang mengingkari dan peniadaan
kehujjahan qiyas dalam syari’at golongan terakhir ini disebut nuffatul qiyas
(penolak qiyas).
Berikut
ini adalah dalil-dalil kehujjahan qiyas :
·
Bahwa syari’at islam
datang untuk mengatur kehidupan manusia; memelihara hubungan mereka secar
khusus maupun yang umum di antara individu dan masyarakat;
Allah
yang maha suci tidaklah mengutus para nabi dan rasul kepada manusia kecuali
sebagai rahmat alam semesta.Allah berfirman:
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus kamu (
muhammad ) malainkan sebagai rahmat bagi alam semesta
(al-anbiya’:107)”.
·
Bahwa al-qur’an telah
mempergunakan qiyas dalam mencukupkan dan menetapkan hujjah serta menjelaskan
sebagai hukum dan menetapkannya jika sama, dan menghilangkannya jika berbeda.
·
Bahwa al-qur’an telah
banyak menyuruh manusia untuk mengambil I’tibar (pelajaran) dalam berbagai
peristiwa.
·
Bahwa para
sahabat telah berjima’ atas kehujjahan qiyas.
·
Bahwa nash-nash
al-qur’an dan as sunnah adalah terbatas dan sudah selesai sedangkan
peristiwa-pristiwa atau kejadian-kejadian zaman tiada henti-hentinya terjadi.
6.
Tempat Berlakunya Qiyas
Di
lihat dari sebagian ulama bahwa qiyas berlaku pada semua hukum syari’ah,
meskipun dalam perkara hudud, kafarat, taqditar ( hukum-hukum yang telah di
tetapkan ) dan hukum-hukum perkecualian, apabila syarat-syaratnya sudah
terpenuhi. Sebab dalil yang mendukung atas kehujjahannya tidak membeda-bedakan
antara satu macam hukum dengan hukum-hukum yang lain.
Dari
golongan Hanafiayah berpendapat bahwa qiyas tidak berlaku pada masalah hudud (
pidana yang telah di tetapkan nash ) sebab ia termaksuk batas yang telah di
tetapkan Allah, yang tidak bisa di ketahui illatnya oleh akal. Sedangkan qiyas
juga syubhat, sebab ia menunjukan pada hukum dengan cara yang dhonni, bukan
qat’hi. Maka uqubat yang telah di wajibkan tidak bisa ditetapkan kecuali dengan
dalil yang qat’hi.(11)
7.
Keraguan-Keraguan Penolak Qiyas
An-Nadhdham
dari kalangan mu’tazilah, dan segolongan ulama syiah berpendapat bahwa qiyas
tidaklah termaksuk hujjah dalam syari’at islam dasar mereka adalah:(12)
·
Bahwa qiyas dalam
syari’at (islam) tidak di perlukan. Sebab tidak ada tempat padanya. Nash-nash
yang ada di dalam Al-qur’an ada yang menjelaskan sebagian hukum sesuatu dengan
terang dan jelas. Seperti yang menyatakan wajib, haram, sunnat, makruh dan
mubah.
·
Bahwa qiyas itu di
tegakan di atas dhonni, sebagaimana di nyatakan Al-qur’an dan tidak boleh di
amalkan, Allah berfirman:
artinya : “janganlah kamu mengikuti sesuatu yang
kamu sendiri tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu”.
·
Bahwa Allah,
sebagaimana yang di katakana An-nadhdhom, telah membedakan di antara dua hukum
yang serupa, yaitu ketika memotong tangan pencuri, tetapi tidak memotong tangan
perampok. Memotong tangan jika yang di curi itu ada empat dinar, tetapi
menjadikan diyatnya lima ratus dinar dan mewajibkan hukuman bagi orang yang
menuduh orang lain berzinah tetapi tidak mewajibkan hukuman atas orang yang
menuduh kepada orang lain.
Dengan
adanya perbedaan-perbadaan hukum di antara masalah-masalah ini adalah karena
tidak adanya kesamaan illat yang menjadi dasar hukumnya.

11(11)http://rahmathariry.blogspot.com/2012/02/qiyas-makalah.html
12(12)http://rahmathariry.blogspot.com/2012/02/qiyas-makalah.html
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Qiyas
adalah proses penyelesaian masalah dalam ajaran agama islam, yang permasalahan
tersebut tidak di temukan dalam qur’an dan hadis. Sehingga diambilah langkah
pengkiasan atau penyamaan.
Contohnya
antara narkoba dalam kehidupan sekarang, di kias dari khamar dalam aturan islam
haram.
Pendapat
yang mengatakan bahwa qiyas tidaklah bersandarkan al-quran maupun hadist
tidaklah benar. Karena sesuatu yang diqiyaskan melihat kembali pada
permasalahan yang diselesaikan melalui
al-quran dan hadist.
Qiyas
sangatlah penting dalam kehidupan sekarang ini, dilihat dari perkembangan
permasalahan ummat yang kian berkembang dan tentu perbedaan kehidupan pada masa
yang berbeda akan melahirkan masalah dan problematika yang berbeda pula.
2.
Saran
Kami
selaku pemakalah menyadari bahwa terdapat kekurangan dalam proses penyusunan
makalah ini, oleh sebab itu kritik dan saran dari pembaca sangat di perlukan.
Guna memperbaiki sekaligus menyempurnakan makalah ini, yang insya allah berguna
pada generasi yang selanjutnya.
Akhirul
qalam,,,
Wallahulmuwafiq
illa aqwamithorik
Wassalamualaikum…war…wab…
[7][7] Drs. H. Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam
Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1978), hal. 44-45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar