BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembicaraan tentang manajemen akhir-akhir
ini hangat dibincangkan. Hal tersebut bukan saja merupakan hal baru bagi dunia
pendidikan. Sumber daya manusia merupakan unsure aktif dalam penyelenggaraan
organisasi. Sedangkan unsure-unsur yang lainnya merupakan unsure pasif yang
bisa diubah oleh kreativitas manusia. Dengan pengelolaan (nanajemen) yang
berkualitas, diharapkan akan dapat mengkondisikan unsure-unsur yang lain agar
bisa mencapai tingkat produktifitas suatu organisasi.
Memperbincangkan
mengenai lembaga pendidikan yang bernama madrasah, agaknya akan selalu menarik
dan tidak ada habis-habisnya. Terlebih yang dibicarakan adalah dari aspek
manajemennya. Karena manajemen dalam suatu lembaga apa pun akan sangat
diperlukan, bahkan – disadari atau tidak – sebagai prasyarat mutlak untuk
tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam lembaga tersebut. Semakin baik
manajemen yang diterapkan, semakin besar pula kemungkinan berhasilnya lembaga
tersebut dalam mencapai tujuannya. Demikian pula sebaliknya.
Realitas
di lapangan lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah tingkat
produktifitas masih jauh dari yang diharapkan. Dalam makalah ini akan dibahas
sekilas mengenai manajemen madrasah terkait dengan problematika yang ada di
dalamnya beserta dan pemecahannya beserta dengan formulasi dalam pengembangan
madrasah.
B. rumusan
masalah
1.
Apa
pengertian manejemen dan madrasah ?
2.
Bagaimana
manejemen dalam dadrasah?
3.
Apa
saja faktor yang menghambat manejemen madrasah ?
BAB. II
PEMBAHASAN
A. Manajemen
Manajemen
berasal dari kata "to manage" yang berarti mengatur, mengurus
atau mengelola. Banyak definisi yang telah diberikan oleh para ahli terhadap
istilah manajemen ini. Namun dari sekian banyak definisi tersebut ada satu yang
kiranya dapat dijadikan pegangan dalam memahami manajemen tersebut, yaitu : Manajemen
adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian kegiatan, seperti perencanaan,
pengorganisasian, penggerakandan dan pengendalian/pengawasan, yang dilakukan
untuk menetukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan
sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya.
Manajemen
sering diartikan sebagai ilmu, kiat dan profesi. Dikatakan sebagai ilmu oleh
Luther Gulick kerena menajemen dipandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang
secara sistematik berusaha memahami
mengapa dan bagaiman orang bekerja sama. Dikatakan sebagai kiat karena
manajemen mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain
menjalankan tugas. Dipandang sebagai profesi kerena manajemen dilandasi oleh
keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer, dan para profesional itu
dituntut kode etik tertentu.[1][1]
Menurut
The Liang Gie manajemen adalah segenap proses penyelenggaraan dalam setiap
usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu.[2][2]
Manajemen
mencakup kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan, dilakukan oleh
individu-individu yang menyumbangkan upayanya yang terbaik melalui
tindakan-tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal tersebut meliputi
pengetahuan apa yang harus mereka lakukan, menetapkan cara bagaimana
melakukannya, memahami bagaiman mereka harus melakukannya dan mengukur
efektifitas dari usaha-usaha mereka. Selanjutnya perlu menetapkan dan
memelihara pula suatu kondisi lingkungan yang memberikan respon ekonomis,
psikologis, social, politis dan sumbangan-sumbangan teknis serta
pengendaliaannya.
Manajemen
merupakan sebuah kegiatan, pelaksanaannya disebut managing dan orang yang
melakukannya disebut manajer. Dalam proses manajemen terdapat fungsi-fungsi
pokok yang ditampilkan oleh seorang manajer/pimpinan, yaitu : perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pemimpinan (leading), dan
pengawasan (controlling). Oleh karena itu, manajemen diartikan sebagai
proses merencanakan, mengorganisai, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi
dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan
efisien.[3][3]




B. Madrasah
1. Pengertian Madrasah
Kata
"madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata
"keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa".
Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat
belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran".
Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata "midras"
yang mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau "tempat
belajar"; kata "al-midras" juga diartikan sebagai
"rumah untuk mempelajari kitab Taurat’.[4][4]
Kata
"madrasah" juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari
akar kata yang sama yaitu "darasa", yang berarti "membaca
dan belajar" atau "tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa
tersebut, kata "madrasah" mempunyai arti yang sama:
"tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata
"madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada
mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa
Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
Secara
teknis, dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak
berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas
dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi,
yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran
hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam).
Dalam prakteknya
memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum
al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah
umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada
pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah.
Kenyataan bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami
"madrasah" sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni
"tempat untuk belajar agama" atau "tempat untuk memberikan
pelajaran agama dan keagamaan".
Istilah madrasah sebagai pendidikan
Islam muncul dari penduduk Nisapur, tetapi tersiarnya melalui menteri Saljuqi
yang bernama Nizam al-Mulk, yang mendirikan madrasah Nizammiyah. Selanjutnya
Gibb dan Kremers menuturkan bahwa pendiri madrasah terbesar setelah Nizam
al-Mulk adalah Salahuddin al-Ayyfihi.
2. Sejarah
Madrasah
Kelahiran madrasah ini tidak
terlepas dari ketidakpuasan terhadap system pesantern yang semata-mata
menitikberatkan agama, di lain pihak system pendidikan umum justru ketika itu
tidak menghiraukan agama. Dengan demikian kehadiran madrasah dilatarbelakangi
olehkeinginan untuk memberlakukan secara berimbang antara ilmu agama dengan
ilmu pengetahuan umum dalam pendidikan dikalangan umat Islam. Atau dengan kata
lain madrasah merupakan perpaduan system pendidikan pesantreandengan pendidikan
colonial.[5][5]
Sebagai lembaga pendidikan Islam
setidak-tidaknya munculnya madrasah mempunyai empat latar belakang, yaitu:
a.
Sebagai
manifestasi dan realisasi pembaruan system pendidikan Islam
b.
Upaya
penyempurnaan terhadap system pesantren ke arah suatu system pendidikan yang
lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan
sekolah umum. Misalnya, masalah kesamaan kesempatan kerja dan memperoleh
ijazah.
Adanya sikap mental pada sementara
golongan umat Islam, khususnya santri yang terpaku pada Barat sebagai system
pendidikan mereka.
c.
Sebagai
upaya menjembatani antara system pendidikan tradisional yang dilakukan oleh
pesantren dan system pendidikan modern dari hasil akulturasi.
3. Manajemen
Madrasah
Dengan
adanya pengertian manajemen dan madrasah seperti diatas, maka penulis
menyimpulkan bahwa manajemen madrasah adalah segenap proses penyelenggaraan
dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia melalui pemanfaatan sumber daya
manusia ataupun non manusia untuk mencapai tujuan madrasah agar efektif dan
efisien.
Selama
ini madrasah danggap sebagai lembaga pendidikan islam yang mutunya lebih rendah
dari pada mutu lembaga pendidikan lainnya, terutama sekolah umum, walaupaun
beberapa madrasah justru lebih maju dari pada sekolah umum. Namun keberhasilan
beberapa madrasah dalam jumlah yang terbatas itu belum mampu menghapus kesan
negative yang sudah terlanjur melekat. [6][6]
Ditinjau
dari segi penguasaan agama, mutu siswa madrasah lebih rendah, daripada mutu
santri pesantren. Sementara itu, ditinjau dari hal penguasaan materi umum, mutu
siswa madrasah lebih rendah dari pada sekolah umum. Jadi, penguasaan baik
pelajaran agama maupun materi umum serba mentah (tidak matang). Itulah yang
menyebabkan Mastuhu menilai, “madrasah menjadi semacam sekolah kepalang
tanggung”.
Dari
segi manajemen, madrasah lebih teratur dari pada pesantren tradisional
(salafiyah), tetapi dari segi penguasaan pengetahuan agama, santri lebih
mumpuni. Keadaan ini wajar terjadi karena santri tersebut hanya mempelajari
pengetahuan agama, sementara beban siswa madrasah berganda. Demikian juga,
menjadi wajar ketika dalam penguasaan pengetahuan umum, siswa sekolah umum
lebih menguasai daripada siswa madrasah karena beban siswa sekolah umum tidak
sebanyak siswa madrasah.
Berbagai
upaya untuk meningkatkan kualitas madrasah terus digulirkan, begitu juga usaha
menuju ke kesatuan sistem pendidikan nasional dalam rangka pembinaan semakin
ditingkatkan. Usaha tersebut bukan hanya merupakan tugas dan wewenang
Departemen Agama, tetapi merupakan tugas bersama antara masyarakat dan
pemerintah. Usaha tersebut mulai terrealisasi terutama dengan dikeluarkannya
surat keputusan bersama (SKB) 3 mentri, antara Mentri Dalam Negeri, Mentri
Agama, dan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975, tentang
peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Adapun point-point SKB 3 mentri
tersebut adalah:
a.
Ijazah
madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan nilai ijazah sekolah umum yang
setingkat.
b.
Lulusan
madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi.
c.
Siswa
madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Dengan
adanya SKB 3 Mentri tersebut bukan berarti beban yang dipikul madrasah tambah
ringan, tetapi justru sebaliknya, akan semakin berat. Hal ini dikarenakan di
satu pihak ia dituntut untuk memperbaiki kualitas pendidikan umumnya sehingga
setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah umum. Di lain pihak ia harus
menjaga agar mutu pendidikan agama tetap baik sebagai ciri khasnya. Dengan
adanya SKB 3 Mentri tersebut pendidikan agama pada madrasah menjadi berkurang,
karena madrasah-madrasah berlomba untuk menambah materi pendidikan umum untuk
mensejajarkan denan sekolah umum
a.
Pemberian otonomi luas kepada madrasah
MBM memberikan otonomi luas kepada madrasah disertai seperangkat tanggung jawab untuk mengelola sumber daya dan pengembangan strategi sesuai dengan posisi setempat. Madrasah diberi kekuasaan dan kewenangan yang luas untuk mengembangkan kurikulum dan pelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik serta tuntutan masyarakat. Melalui otonomi yang luas ini madrasah dapat meningkatkan kinerja tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan dengan menawarkan partisipasi aktif mereka.
b.
Tingginya partisipasi masyarakat dan orang tua
Orang tua peserta didik dan masyarakat tidak hanya mendukung madrasah melalui bantuan keuangan, tetapi melalui komite madrasah dan dewan pendidikan. Bahkan masyarakat dan orang tua dapat menjalin kerjasama untuk memberikan bantuan, pemikiran, serta menjadi narasumber pada berbagai kegiatan peningkatan kualitas pembelajaran di madrasah.
c.
Kepemimpinan yang demokratis dan professional
Kepala madrasah dan guru-guru sebagai faktor utama penyelenggaraan pendidikan di madrasah merupakan figure yang memiliki kemampuan dan integritas professional. Dalam proses pengambilan keputusan, MBM menuntut kepala madrasah mengimplementasikan proses buttom-up secara demokratis sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil beserta pelaksanaannya.
d.
Team-work yang kompak dan transparan
Keberhasilan program-program madrasah tentunya didukung oleh kinerja team yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan di madrasah.
MBM bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi, antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui revitalisasi partisipasi orang tua terhadap madrasah, fleksibilitas pengelolaan madrasah dan pembelajaran, peningkatan profesionalisme guru dan kepala madrasah serta berlakunya system hadiah dan hukuman peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.
MBM juga bertujuan untuk mendirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluesan dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan diberikannya kesempatan kepala sekolah untuk mengembangkan kurikulum, guru didorong untuk berinovasi, dengan melakukan eksperimentasi-eksperimentasi di lingkungan sekolah.
6. Manfaat Manajemen Berbasis
Madrasah ( MBM )
MBM memberikan kebebasan dan kewenangan yang luas pada madrasah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi sesuai dengan kondisi setempat. Madrasah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru agar lebih berkonsentrasi pada tugas utamanya mengajar. Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan partisipasi masyarakat mendorong profesionalisme kepemimpinan madrasah, baik dalam perannya sebagai manager maupun sebagai pemimpin madrasah.
MBM mendorong profesionalisme guru dan kepala madrasah sebagai pemimpin pendidikan pada garis depan. Melalui pengembangan kurikulum yang efektif dan fleksibel, rasa tanggap madrasah terhadap kebutuhan setempat akan meningkat, dan menjamin layanan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan peserta didik dan masyarakat. Prestasi peserta didik dapat dimaksimalkan melalui peningkatan partisipasi orang tua karena mereka dapat secara langsung mengawasi kegiatan belajar anaknya.
7. Implementasi Manajemen Berbasis Madrasah
Melalui MBM, madrasah dikembangkan menjadi lembaga pendidikan yang diberi kewenangan dan tanggung jawab secara luas untuk mandiri, maju dan berkembang berdasarkan kebijakan dasar pengelolaan pendidikan yang di tetapkan pemerintah. Persoalan yang muncul adalah apakah kondisi actual madrasah-madrasah di Indonesia beserta sumber dayanya sudah memiliki kesiapan untuk melaksanakan inovasi yang akan mengubah pola dan system manajemen madrasah?
Implementasi MBM di Indonesia perlu di dukung oleh perubahan mendasar dalam kebijakan pengelolaan madrasah yang menyangkut aspek-aspek berikut :
a.
Iklim madrasah yang kondusif
Pelaksanaan MBM perlu di dukung oleh iklim madrasah
yang kondusif bagi terciptanya suasana yang aman, nyaman dan tertib sehingga
proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (enjoyable
learning).
b.
Otonomi madrasah
Dalam MBM, kebijakan pengembangan kurikulum dan pembelajaran
beserta system evaluasinya harus di desentralisasikan ke madrasah agar sesuai
dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat secara lebih fleksibel.
Pemerintah pusat, dalam hal ini Depdiknas, dan Depag hanya menetapkan standard
Nasional yang pengembangannya diserahkan kepada madrasah. Dengan demikian
desentralisasi kebijakan dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran beserta
system evaluasinya merupakan pra syarat untuk mengimplementasikan MBM secara
utuh.
c.
Kewajiban madrasah
MBM yang menawarkan keleluasaan dalam pengelolaan
pendidikan memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala madrasah, guru
dan tenaga kependidikan yang professional.
Dengan demikian, madrasah dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli, dan bertanggung jawab baik terhadap masyarakat maupun pemerintah dalam rangka meningkatkan kapasitas pelayanan terhadap peserta didik.
Dengan demikian, madrasah dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli, dan bertanggung jawab baik terhadap masyarakat maupun pemerintah dalam rangka meningkatkan kapasitas pelayanan terhadap peserta didik.
8. Kepemimpinan madrasah
yang demokratis dan professional
Pelaksanaan MBM memerlukan sosok kepala madrasah yang memiliki kemampuan mangeril dan integritas professional yang tinggi, serta demokratis dalam proses pengambilan keputusan-keputusan mendasar. Pada umumnya, kepala madrasah di Indonesia belum dapat dikatakan sebagai manager professional karena system pengangkatan selama ini tidak di dasarkan pada kemampuan atau pendidikan professional, tetapi lebih kepada pengalaman menjadi guru.
Kebanyakan madrasah adalah swasta yang di bangun oleh
individu atau masyarakat muslim sebagai wujud panggilan dan kesadaran
keberagamaan masyarakat muslim terhadap pentingnya pelestarian ajaran agama
kepada anak-anak generasi penerus. Sehingga perkembangan madrasah amat
tergantung pada seberapa besar perhatian dan komitmen mereka, masyarakat yang
melengkapinya terhadap kemajuan pendidikan islam.
Dalam implementasi MBM, partisipasi aktif berbagai
kelompok masyarakat dan pihak orang tua dalam perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan program-program madrasah perlu dibangkitkan kembali.
Wujud keterlibatan, bukan hanya dalam bantuan financial tetapi lebih dari itu
dalam pemikiran-pemikiran untuk peningkatan kualitas madrasah.
9. Faktor
pendukung keberhasilan Manajemen Berbasis Madrasah
a. Faktor pendukung
a. Faktor pendukung
Implementasi MBM sangat dipengaruhi oleh berbagai
factor, baik factor internal maupun eksternal. Beberapa factor pendukung
keberhasilan MBM tersebut dalam garis besarnya mencakup gerakan peningkatan
kualitas pendidikan yang di canangkan pemerintah, sosialisasi peningkatan kualitas
pendidikan, gotong royong dan kekeluargaan, potensi sumber daya manusia,
organisasi formal dan informal, organisasi profesi serta dukungan dunia usaha
dan industry.

Depag terus menerus melakukan sosialisasi
peningkatan kualitas pendidikan di berbagai wilayah kerja, baik dalam
pertemuan-pertemuan resmi maupun melalui orientasi dan workshop. Sosialisasi
peningkatan kualitas pendidikan yang telah dilakukan antara lain adalah
pemberian bantuan operasional managemen mutu dan penerapan education managemen
information system (EMIS) yang dirintis sejak tahun 1996.

Upaya meningkatkan kualitas
pendidikan terus menerus dilakukan baik secara konvensional maupun inovatif.
Hal tersebut terfokus lagi setelah diamanatkan dalam UU Sisdiknas bahwa tujuan
pendidikan Nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui
peningkatan kualitas pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Pemerintah,
dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional telah mencanangkan “gerakan
peningkatan mutu pendidikan” pada tanggal 2 Mei 2002. Hal ini merupakan
momentum yang paling tepat dalam rangka mengantisipasi dan mempersiapkan
peserta didik memasuki era globalisasi, yang beberapa indikatornya telah dapat
dirasakan sekarang ini, dimana tekhnologi mampu menembus batas-batas antar
wilayah dan antar Negara.

Gotong royong dan kekeluargaan dapat menghasilkan
dampak positif dalam suatu pekerjaan. Gotong royong dan kekeluargaan yang
membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia masih dapat dikembangkan dalam
mewujudkan kepala madrasah. Professional, menuju terwujudnya visi pendidikan
menjadi aksi nyata di madrasah, kondisi ini dapat ditumbuh kembangkan oleh para
pengawas dengan menjalin kerja sama terutama yang berada di lingkungan
madrasah.

Kepala madrasah memiliki berbagai potensi yang dapat
dikembangkan secara optimal. Setiap kepala madrasah harus memiliki perhatian
yang cukup tinggi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di madrasah.
Perhatian tersebut harus ditunjukkan dalam kemauan dan kemampuan untuk
mengembangkan diri dan madrasahnya secara optimal.

Pada sebagian besar lingkungan pendidikan madrasah di berbagai wilayah Indonesia dari sabang sampai merauke umumnya telah memiliki organisasi formal terutama yang berhubungan dengan profesi pendidikan seperti kelompok kerja pengawas madrasah (pokjawas), kelompok kerja madrasah (KKM), musyawarah kepala madrasah (MKM), dewan pendidikan dan komite madrasah. Organisasi-organisasi tersebut sangat mendukung manajemen berbasis madrasah untuk melakukan berbagai terobosan dalam peningkatan kualitas pendidikan wilayah kerjanya.

Organisasi profesi pendidikan
sebagai wadah untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan
seperti pokjawas, KKM, kelompok kerja guru (KKG), musayawarah guru mata
pelajaran (MGMP), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), forum peduli guru
(FPG), dan ISPI (ikatan sarjana pendidikan Indonesia) sudah terbentuk hamper di
seluruh Indonesia dan telah menyentuh berbagai kecamatan. Organisasi profesi
tersebut sangat mendukung implementasi MBM dan peningkatan kinerja dan prestasi
belajar peserta didik menuju peningkatan kualitas pendidikan nasional.

MBM sebagai paradigma baru manajemen pendidikan
mempunyai harapan yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, komitmen
dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu
madrasah secara optimal. Tenaga kependidikan memiliki komitmen dan harapan yang
tinggi bahwa peserta didik dapat mencapai prestasi yang optimal, meskipun
dengan segala keterbatasan sumber daya pendidikan yang ada di madrasah.

Paradigm baru manajemen pendidikan perlu di tunjang oleh input manajemen yang memadai dalam menjalankan roda madrasah dan mengelola madrasah secara efektif. Input manajemen yang telah dimiliki seperti tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung implementasi, ketentuan-ketentuan yang jelas sebagai panutan bagi warga madrasah dalam bertindak, serta adanya system pengendalian mutu yang handal untuk meyakinkan bahwa tujuan yang telah di rumuskan dapat diwujudkan di madarsah.
b. faktor penghambat yang kadang terjadi
Pada
dasarnya, secara organisasional, madrasah merupakan organisasi yang mengelola
diri (self-organized) untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan
karakteristiknya. Dan pengelolaan diri ini dijalankan oleh para pemimpin
madrasah melalui sebuah mekanisme manajemen operatif. Namun, karena madrasah di
Indonesia merupakan sub sistem dalam makro sistem pendidikan nasional dan
tanggung jawab pengelolaannya dibebankan pada Departemen Agama, maka
pengelolaan diri madrasah secara individu tidak cukup memberikan dampak
perubahan yang signifikan dan luas bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat
muslim Indonesia saat ini. Hal tersebut karena kondisi madrasah yang yang
tergolong miskin dalam berbagai sumber, termasuk sumber daya manusianya dan
inilah salah satu poblem yang menyelimuti kehidupan madrasah.
Berbagai
hal yang yang melatarbelakangi persoalan tentang kelemahan manajerial madrasah
adalah sebagai berikut:[7][7]
o
Ketidakjelasan
Misi, Visi dan Tujuan Madrasah
Dalam bukunya Total
Quality Management in Education, Edward Sallis mengemukakan bahwa dalam
suatu organisasi tanpa visi, maka perubahan tidak mungkin, tanpa misi maka
perubahan bisa salah arah, tanpa insentif, perubahan lama terjadi,tanpa sumber
daya perubahan tidak akan terwujud, dan tanpa fasilitas, maka perubahan hanya
sedikit. Jika madrasah telah mencanangkan misi dan visi yang jelas, maka tujuan
tujuan akan muah dicapai, dilaksanakan, dikontrol dan dievaluasi.
o
Ketidakjelasan
struktur dan Tata Kerja
Seringkali
terjadi tumpang tindih di lapangan antara wewenang yayasan dengan pengelola
madrasah. Salah satu konflik laten dalam pengelolaan madrasah adalah perbedaan
kepentingan antara pihak pengelola madrasah dengan yayasan. Yayasan sebagai
pemilik biasanya memiliki posisi tawar yang lebih, dan pada umumnya menggunakan
kekuasaannya untuk mengatur segala hal. Sebaliknya, madrasah cenderung tidak
atau kurang memiliki posisi tawar sehingga secarapsikologis menjadikan
pengelola madrasah tersubordinasikan.
o
Kurangnya
keterlibatan madrasah
Sebelum isu
desentralisasi pendidikan digulirkan dan lebih khusus lagi dengan adanya
pendidikan berbasis masyarakat, madrasah adalah salah satu model pendidikan
berbasis masyarakat yang telah lama ditengah-tengah masyarakat. Akan tetapi,
perkembangan selanjutnya madrasah yang didirikan masyarakat tersebut kemudian
mengalami kemandegan inilah problem klasik yang sering muncul. Ketika madrasah
sudah berdiri, maka keterlibatan aktif masyarakat untuk memikirkan nasib,
kelangsungan hidup (apalagi pengembangan dan kemajuan) madrasah relatif kurang
(kalau tidak bisa dikatakan tidak ada).
o
Lemahnya
jaringan (Network)
Banyak terjadi
di masyarakat kita, bahwa dalamsatu daerah tertentu terdapat beberapa madrasah
yang berdampingan tetapi belum bisa bergandeng tangan secara maksimal, yang
terjadi malah sebaliknya saling mematikan. Ini tentu saja salah satu faktor
rendahnya/lemahnya madrasah.
o
Lemahnya
manajemen
Kelemahan di
bidang ini boleh dibilang merupakan “wabah” yang menjangkiti sebagian besar
madrasah. Pendanaan terbatas, kurangnya sarana dan prasarana, lemahnya SDM dan
minimnya pengetahuan tentang organisasi dan tata kerja merupakan beberapa sebab
yang saling kait-mengkait.
c. Solusi problematika madrasah
Untuk
mengatasi problematika kelemahan madrasah di atas setidak-tidaknya ada tiga pendekatan
yang bisa ditawarkan, yaitu:[8][8]
o
Islamisasi
ilmu pengetahuan
Prof.dr.
Muhammad Arkaum menganggap bahwa islamisasi IPTEK sebagai suatu kesalahan,
sebab hal ini dapat menjebak kita bahwa islam hanya semata-mata sebagai
idiologi (USA, 1991) terlepas dari adanya pro dan kontra mengenai masalah ini,
bahwa islamisasi ilmu merupakan conditio since quanon, bukan berarti seorang
insinyur harus menguasai tafsir, fiqih, ilmu hadits, dsb, namun paling tidak ia
berkepribadian sebagai seorang muslim sesuai nilai-nilai islam, bertawakal dsb,
demikian juga sebagai ustadz (ulama) sebagai alumni madrasah harus menguasai
iptek tetapi paling tidak menginsafi bahwa IPTEK adalah penting bagi
pengemangan ilmu pengetahuan itu sendiri dan juga diperintahkan oleh agama. Usaha
islamisasi ini tidak hanya akan menghiangkan dikotomi sistem pendidikan kita,
juga akan mengikis dikotomi lembaga pendidikan yang pada gilirannya akan
menghilangkan sikap dikotomi terhadap lembaga-lembaga pendidikan seperti
madrasah dengan sekolah umum sehingga kesan madrasah sebagai sekolah “kelas
dua” harus dihilangkan.
o
Legalitas
kelembagaan
Sebagai tindak
lanjut islamisasi dari ilmu tadi, maka selanjutnya adalah harus ada legalitas
kelembagaan dan pengakuan profesional terhadap lembaga pendidikan semacam
madrasah. Sebanarnya legalitas kelembagaan ini sudah tertuang didalam UUSPN.i
No 2 tahunn 1989 namun baru tahap formalitas, kenyataan dilapangan belum diakui
100% masih terdapat dikotomi terhadap pengekuan profesionalisme antara alumni
pendidikan umum dengan alumni madrasah dalam kiprah membangun bangsa yang
mayoritas penduduknya muslim ini. Karena itu penataan secara substansial baik
kurikulum dan kualitas pendidik menjadi sangat esensial.
o
Kurikulum
pendidikan dan kualitas pendidik
Beberapa
pergantian kurikulum dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia, bagi madrasah terakhir adalah adanya kurikulum berciri khas agama
Islam yang menerapkan 10% pendidikan agama dan 90% pendidikan umum. Kurikulum
ini kiranya membawa angin segar bagi pengembangan pendidikan Islam. Adapun yang
menjadi ciri khas dari kurikulum jenis ini adalah: (1)
matapelajaran-matapelajaran keagamaan yang dijabarkan dari pendidikan Islam
(Qur’an, Hadits, Akidah Akhlak, Ibadah, Syari’ah, Fiqh dan Sejarah Islam), (2)
suasana keagamaan yang berupa suasana kehidupan madrasah yang agamis, adanya
sarana ibadah, penggunaan metode dan pendekatan yang agamis dalam setiap
matapelajaran dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan berakhlak
mulia, disamping memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Dalam upaya meningkatkan kualitas output madrasah juga
perlu didukung oleh pemanfaatan pendidik yang berkualitas. Dengan demikian
persoalan keprofesionalan tenaga pendidik dalam madrasah sangat diperlukan guna
pengembangan madrasah ke arah yang lebih baik.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Manajemen
adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian kegiatan, seperti perencanaan,
pengorganisasian, penggerakandan dan pengendalian/pengawasan, yang dilakukan
untuk menetukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan
sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya.
Kata
"madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata
"keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa".
Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat
belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran".
Manajemen
madrasah adalah segenap proses penyelenggaraan dalam setiap usaha kerjasama
sekelompok manusia melalui pemanfaatan sumber daya manusia ataupun non manusia
untuk mencapai tujuan madrasah agar efektif dan efisien.
Problematika
madrasah antara lain;
(1)
Ketidakjelasan Misi, Visi dan Tujuan Madrasah,
(2)
Ketidakjelasan struktur dan Tata Kerja,
(3)
Kurangnya keterlibatan masyarakat,
(4)
Lemahnya jaringan (Network),
(5)
Lemahnya manajemen.
Untuk
mengatasi problematika kelemahan madrasah di atas setidak-tidaknya ada tiga
pendekatan yang bisa ditawarkan, antara lain;
(1)
Islamisasi ilmu pengetahuan,
(2)
Legalitas kelembagaan,
(3)
Kurikulum pendidikan dan kualitas pendidik.
[2][2] Suharsimi Arikunto, Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan,
(Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta, 2008), hal. 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar