Senin, 08 Desember 2014

MAKALAH MANEJEMEN MADRASAH DALAM ISLAM




BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
     Pembicaraan tentang manajemen akhir-akhir ini hangat dibincangkan. Hal tersebut bukan saja merupakan hal baru bagi dunia pendidikan. Sumber daya manusia merupakan unsure aktif dalam penyelenggaraan organisasi. Sedangkan unsure-unsur yang lainnya merupakan unsure pasif yang bisa diubah oleh kreativitas manusia. Dengan pengelolaan (nanajemen) yang berkualitas, diharapkan akan dapat mengkondisikan unsure-unsur yang lain agar bisa mencapai tingkat produktifitas suatu organisasi.
Memperbincangkan mengenai lembaga pendidikan yang bernama madrasah, agaknya akan selalu menarik dan tidak ada habis-habisnya. Terlebih yang dibicarakan adalah dari aspek manajemennya. Karena manajemen dalam suatu lembaga apa pun akan sangat diperlukan, bahkan – disadari atau tidak – sebagai prasyarat mutlak untuk tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam lembaga tersebut. Semakin baik manajemen yang diterapkan, semakin besar pula kemungkinan berhasilnya lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Demikian pula sebaliknya.
Realitas di lapangan lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah tingkat produktifitas masih jauh dari yang diharapkan. Dalam makalah ini akan dibahas sekilas mengenai manajemen madrasah terkait dengan problematika yang ada di dalamnya beserta dan pemecahannya beserta dengan formulasi dalam pengembangan madrasah.

B. rumusan masalah
1.      Apa pengertian manejemen dan madrasah ?
2.      Bagaimana manejemen dalam dadrasah?
3.      Apa saja faktor yang menghambat manejemen madrasah ?











BAB. II
PEMBAHASAN
A.  Manajemen
Manajemen berasal dari kata "to manage" yang berarti mengatur, mengurus atau mengelola. Banyak definisi yang telah diberikan oleh para ahli terhadap istilah manajemen ini. Namun dari sekian banyak definisi tersebut ada satu yang kiranya dapat dijadikan pegangan dalam memahami manajemen tersebut, yaitu : Manajemen adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian kegiatan, seperti perencanaan, pengorganisasian, penggerakandan dan pengendalian/pengawasan, yang dilakukan untuk menetukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya.
Manajemen sering diartikan sebagai ilmu, kiat dan profesi. Dikatakan sebagai ilmu oleh Luther Gulick kerena menajemen dipandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara sistematik  berusaha memahami mengapa dan bagaiman orang bekerja sama. Dikatakan sebagai kiat karena manajemen mencapai sasaran melalui cara-cara dengan mengatur orang lain menjalankan tugas. Dipandang sebagai profesi kerena manajemen dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu prestasi manajer, dan para profesional itu dituntut kode etik tertentu.[1][1]
Menurut The Liang Gie manajemen adalah segenap proses penyelenggaraan dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu.[2][2]
Manajemen mencakup kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan, dilakukan oleh individu-individu yang menyumbangkan upayanya yang terbaik melalui tindakan-tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal tersebut meliputi pengetahuan apa yang harus mereka lakukan, menetapkan cara bagaimana melakukannya, memahami bagaiman mereka harus melakukannya dan mengukur efektifitas dari usaha-usaha mereka. Selanjutnya perlu menetapkan dan memelihara pula suatu kondisi lingkungan yang memberikan respon ekonomis, psikologis, social, politis dan sumbangan-sumbangan teknis serta pengendaliaannya.
Manajemen merupakan sebuah kegiatan, pelaksanaannya disebut managing dan orang yang melakukannya disebut manajer. Dalam proses manajemen terdapat fungsi-fungsi pokok yang ditampilkan oleh seorang manajer/pimpinan, yaitu : perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pemimpinan (leading), dan pengawasan (controlling). Oleh karena itu, manajemen diartikan sebagai proses merencanakan, mengorganisai, memimpin dan mengendalikan upaya organisasi dengan segala aspeknya agar tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.[3][3]
*      Fungsi perencanaan antara lain menentukan tujuan atau kerangka tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu. Ini dilakukan dengan mengkaji kekuatan dan kelemahan organisai, menentukan kesemopatan dan ancamanya, menentukan strategi, kebijakan, taktik dan program, semua itu dilakukan berdasarkan pengambilan keputusan secra ilmiah.
*      Fungsi pengorganisasian meliputi penentuan fungsi, hubungan dan struktur. Fungsi berupa tugas-tugas yang dibagi kedalam fungsi garis, staf dan fungsional. Hubungan terdiri dari tanggung jawab dan wewenag. Sedangkan strukturnya dapat horizontal dan fertikal. Semuanya itu memperlancar alokasi sumber daya dengan kombinasi yang tepat untuk mengkomplimentasikan rencana.
*      Fungsi pemimpin mengambarkan bagaimana seorang manajer/pemimpi mengarahkan dan mempengaruhi bawahanya, bagaimana orang lain melaksanakan tugas yang esensial dengan menciptakan suasana yang menyenagkan untuk bekerja sama.
*      Fungsi pengawasan meliputi penentuan standar, supervise, dan mengukur penampilan/pelaksanaan terhadap standard an memberikan keyakinan bahwa tujuan organisai tercapai. Pengawasan sangat erat kaitanya dengan perencanaan, karena melalui pengawasan efektivitas manajemen dapat diukur.
B.   Madrasah
1. Pengertian Madrasah
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran". Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata "midras" yang mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau "tempat belajar"; kata "al-midras" juga diartikan sebagai "rumah untuk mempelajari kitab Taurat’.[4][4]
Kata "madrasah" juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu "darasa", yang berarti "membaca dan belajar" atau "tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa tersebut, kata "madrasah" mempunyai arti yang sama: "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
Secara teknis, dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam).
Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau "tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan".
            Istilah madrasah sebagai pendidikan Islam muncul dari penduduk Nisapur, tetapi tersiarnya melalui menteri Saljuqi yang bernama Nizam al-Mulk, yang mendirikan madrasah Nizammiyah. Selanjutnya Gibb dan Kremers menuturkan bahwa pendiri madrasah terbesar setelah Nizam al-Mulk adalah Salahuddin al-Ayyfihi.
2. Sejarah Madrasah
            Kelahiran madrasah ini tidak terlepas dari ketidakpuasan terhadap system pesantern yang semata-mata menitikberatkan agama, di lain pihak system pendidikan umum justru ketika itu tidak menghiraukan agama. Dengan demikian kehadiran madrasah dilatarbelakangi olehkeinginan untuk memberlakukan secara berimbang antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum dalam pendidikan dikalangan umat Islam. Atau dengan kata lain madrasah merupakan perpaduan system pendidikan pesantreandengan pendidikan colonial.[5][5]
            Sebagai lembaga pendidikan Islam setidak-tidaknya munculnya madrasah mempunyai empat latar belakang, yaitu:
a.       Sebagai manifestasi dan realisasi pembaruan system pendidikan Islam
b.      Upaya penyempurnaan terhadap system pesantren ke arah suatu system pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum. Misalnya, masalah kesamaan kesempatan kerja dan memperoleh ijazah.
Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpaku pada Barat sebagai system pendidikan mereka.
c.       Sebagai upaya menjembatani antara system pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan system pendidikan modern dari hasil akulturasi.
3.  Manajemen Madrasah
Dengan adanya pengertian manajemen dan madrasah seperti diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa manajemen madrasah adalah segenap proses penyelenggaraan dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia melalui pemanfaatan sumber daya manusia ataupun non manusia untuk mencapai tujuan madrasah agar efektif dan efisien.
Selama ini madrasah danggap sebagai lembaga pendidikan islam yang mutunya lebih rendah dari pada mutu lembaga pendidikan lainnya, terutama sekolah umum, walaupaun beberapa madrasah justru lebih maju dari pada sekolah umum. Namun keberhasilan beberapa madrasah dalam jumlah yang terbatas itu belum mampu menghapus kesan negative yang sudah terlanjur melekat. [6][6]
Ditinjau dari segi penguasaan agama, mutu siswa madrasah lebih rendah, daripada mutu santri pesantren. Sementara itu, ditinjau dari hal penguasaan materi umum, mutu siswa madrasah lebih rendah dari pada sekolah umum. Jadi, penguasaan baik pelajaran agama maupun materi umum serba mentah (tidak matang). Itulah yang menyebabkan Mastuhu menilai, “madrasah menjadi semacam sekolah kepalang tanggung”.
Dari segi manajemen, madrasah lebih teratur dari pada pesantren tradisional (salafiyah), tetapi dari segi penguasaan pengetahuan agama, santri lebih mumpuni. Keadaan ini wajar terjadi karena santri tersebut hanya mempelajari pengetahuan agama, sementara beban siswa madrasah berganda. Demikian juga, menjadi wajar ketika dalam penguasaan pengetahuan umum, siswa sekolah umum lebih menguasai daripada siswa madrasah karena beban siswa sekolah umum tidak sebanyak siswa madrasah.
Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas madrasah terus digulirkan, begitu juga usaha menuju ke kesatuan sistem pendidikan nasional dalam rangka pembinaan semakin ditingkatkan. Usaha tersebut bukan hanya merupakan tugas dan wewenang Departemen Agama, tetapi merupakan tugas bersama antara masyarakat dan pemerintah. Usaha tersebut mulai terrealisasi terutama dengan dikeluarkannya surat keputusan bersama (SKB) 3 mentri, antara Mentri Dalam Negeri, Mentri Agama, dan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975, tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Adapun point-point SKB 3 mentri tersebut adalah:
a.       Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan nilai ijazah sekolah umum yang setingkat.
b.      Lulusan madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi.
c.       Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Dengan adanya SKB 3 Mentri tersebut bukan berarti beban yang dipikul madrasah tambah ringan, tetapi justru sebaliknya, akan semakin berat. Hal ini dikarenakan di satu pihak ia dituntut untuk memperbaiki kualitas pendidikan umumnya sehingga setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah umum. Di lain pihak ia harus menjaga agar mutu pendidikan agama tetap baik sebagai ciri khasnya. Dengan adanya SKB 3 Mentri tersebut pendidikan agama pada madrasah menjadi berkurang, karena madrasah-madrasah berlomba untuk menambah materi pendidikan umum untuk mensejajarkan denan sekolah umum

a.    Pemberian otonomi luas kepada madrasah

MBM memberikan otonomi luas kepada madrasah disertai seperangkat tanggung jawab untuk mengelola sumber daya dan pengembangan strategi sesuai dengan posisi setempat. Madrasah diberi kekuasaan dan kewenangan yang luas untuk mengembangkan kurikulum dan pelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik serta tuntutan masyarakat. Melalui otonomi yang luas ini madrasah dapat meningkatkan kinerja tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan dengan menawarkan
partisipasi aktif mereka.
b.    Tingginya partisipasi masyarakat dan orang tua 

Orang tua peserta didik dan masyarakat tidak hanya mendukung madrasah melalui bantuan keuangan, tetapi melalui komite madrasah dan dewan pendidikan. Bahkan masyarakat dan orang tua dapat menjalin  kerjasama untuk memberikan bantuan, pemikiran, serta menjadi narasumber pada berbagai kegiatan peningkatan kualitas pembelajaran di madrasah.
c.    Kepemimpinan yang demokratis dan professional

Kepala madrasah dan guru-guru sebagai faktor utama penyelenggaraan pendidikan di madrasah merupakan figure yang memiliki kemampuan dan integritas professional. Dalam proses pengambilan keputusan, MBM menuntut kepala madrasah mengimplementasikan proses buttom-up secara demokratis sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil beserta pelaksanaannya.
d.    Team-work yang kompak dan transparan

Keberhasilan program-program madrasah tentunya didukung oleh kinerja team yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan di madrasah.


            MBM bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi, antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui revitalisasi partisipasi orang tua terhadap madrasah, fleksibilitas pengelolaan madrasah dan pembelajaran, peningkatan profesionalisme guru dan kepala madrasah serta berlakunya system hadiah dan hukuman peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.

            MBM juga bertujuan untuk mendirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluesan dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan diberikannya kesempatan kepala sekolah untuk mengembangkan kurikulum, guru didorong untuk berinovasi, dengan melakukan eksperimentasi-eksperimentasi di lingkungan sekolah.
6.  Manfaat Manajemen Berbasis Madrasah ( MBM )

            MBM memberikan kebebasan dan kewenangan yang luas pada madrasah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi sesuai  dengan kondisi setempat. Madrasah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru agar lebih berkonsentrasi pada tugas utamanya mengajar. Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan partisipasi masyarakat mendorong profesionalisme kepemimpinan madrasah, baik dalam perannya sebagai manager maupun sebagai pemimpin madrasah.

            MBM mendorong profesionalisme guru dan kepala madrasah sebagai pemimpin pendidikan pada garis depan. Melalui pengembangan kurikulum yang efektif dan fleksibel, rasa tanggap madrasah terhadap kebutuhan setempat akan meningkat, dan menjamin layanan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan peserta didik dan masyarakat. Prestasi peserta didik dapat dimaksimalkan melalui peningkatan partisipasi orang tua karena mereka dapat secara langsung mengawasi kegiatan belajar anaknya.
7.  Implementasi Manajemen Berbasis Madrasah       

          Melalui MBM, madrasah dikembangkan menjadi lembaga pendidikan yang diberi kewenangan dan tanggung jawab secara luas untuk mandiri, maju dan berkembang berdasarkan kebijakan dasar pengelolaan pendidikan yang di tetapkan pemerintah. Persoalan yang muncul adalah apakah kondisi actual madrasah-madrasah di Indonesia beserta sumber dayanya sudah memiliki kesiapan untuk melaksanakan inovasi yang akan mengubah pola dan system manajemen madrasah?

Implementasi MBM di Indonesia perlu di dukung oleh perubahan mendasar dalam kebijakan pengelolaan madrasah yang menyangkut aspek-aspek berikut :
a.    Iklim madrasah yang kondusif
Pelaksanaan MBM perlu di dukung oleh iklim madrasah yang kondusif bagi terciptanya suasana yang aman, nyaman dan tertib sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan tenang dan menyenangkan (enjoyable learning).

b.    Otonomi madrasah
Dalam MBM, kebijakan pengembangan kurikulum dan pembelajaran beserta system evaluasinya harus di desentralisasikan ke madrasah agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat secara lebih fleksibel. Pemerintah pusat, dalam hal ini Depdiknas, dan Depag hanya menetapkan standard Nasional yang pengembangannya diserahkan kepada madrasah. Dengan demikian desentralisasi kebijakan dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran beserta system evaluasinya merupakan pra syarat untuk mengimplementasikan MBM secara utuh.

c.    Kewajiban madrasah
MBM yang menawarkan keleluasaan dalam pengelolaan pendidikan memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala madrasah, guru dan tenaga kependidikan yang professional.
Dengan demikian, madrasah dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli, dan bertanggung jawab baik terhadap masyarakat maupun pemerintah dalam rangka meningkatkan kapasitas pelayanan terhadap peserta didik.

8.  Kepemimpinan madrasah yang demokratis dan professional

            Pelaksanaan MBM memerlukan sosok kepala madrasah yang memiliki kemampuan mangeril dan integritas professional yang tinggi, serta demokratis dalam proses pengambilan keputusan-keputusan mendasar. Pada umumnya, kepala madrasah di Indonesia belum dapat dikatakan sebagai manager professional karena system pengangkatan selama ini tidak di dasarkan pada kemampuan atau pendidikan professional, tetapi lebih kepada pengalaman menjadi guru.     
Kebanyakan madrasah adalah swasta yang di bangun oleh individu atau masyarakat muslim sebagai wujud panggilan  dan kesadaran keberagamaan masyarakat muslim terhadap pentingnya pelestarian ajaran agama kepada anak-anak generasi penerus. Sehingga perkembangan madrasah amat tergantung pada seberapa besar perhatian dan komitmen mereka, masyarakat yang melengkapinya terhadap kemajuan pendidikan islam.
Dalam implementasi MBM, partisipasi aktif berbagai kelompok masyarakat dan pihak orang tua dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan program-program madrasah perlu dibangkitkan kembali. Wujud keterlibatan, bukan hanya dalam bantuan financial tetapi lebih dari itu dalam pemikiran-pemikiran untuk peningkatan kualitas madrasah.

9.    Faktor pendukung  keberhasilan Manajemen Berbasis Madrasah        
   a. Faktor pendukung
Implementasi MBM sangat dipengaruhi oleh berbagai factor, baik factor internal maupun eksternal. Beberapa factor pendukung keberhasilan MBM tersebut dalam garis besarnya mencakup gerakan peningkatan kualitas pendidikan yang di canangkan pemerintah, sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan, gotong royong dan kekeluargaan, potensi sumber daya manusia, organisasi formal dan informal, organisasi profesi serta dukungan dunia usaha dan industry.
*      Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan
Depag terus menerus melakukan sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan di berbagai wilayah kerja, baik dalam pertemuan-pertemuan resmi maupun melalui orientasi dan workshop. Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan yang telah dilakukan antara lain adalah pemberian bantuan operasional managemen mutu dan penerapan education managemen information system (EMIS) yang dirintis sejak tahun 1996.
*      Gerakan peningkatan kualitas pendidikan yang dicanangkan pemerintah
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan baik secara konvensional maupun inovatif. Hal tersebut terfokus lagi setelah diamanatkan dalam UU Sisdiknas bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan kualitas pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional telah mencanangkan “gerakan peningkatan mutu pendidikan” pada tanggal 2 Mei 2002. Hal ini merupakan momentum yang paling tepat dalam rangka mengantisipasi dan mempersiapkan peserta didik memasuki era globalisasi, yang beberapa indikatornya telah dapat dirasakan sekarang ini, dimana tekhnologi mampu menembus batas-batas antar wilayah dan antar Negara.
*      Gotong royong dan kekeluargaan
Gotong royong dan kekeluargaan dapat menghasilkan dampak positif dalam suatu pekerjaan. Gotong royong dan kekeluargaan yang membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia masih dapat dikembangkan dalam mewujudkan kepala madrasah. Professional, menuju terwujudnya visi pendidikan menjadi aksi nyata di madrasah, kondisi ini dapat ditumbuh kembangkan oleh para pengawas dengan menjalin kerja sama terutama yang berada di lingkungan madrasah.
*      Potensi kepala madrasah
Kepala madrasah memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan secara optimal. Setiap kepala madrasah harus memiliki perhatian yang cukup tinggi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di madrasah. Perhatian tersebut harus ditunjukkan dalam kemauan dan kemampuan untuk mengembangkan diri dan madrasahnya secara optimal.
*      Organisasi formal dan informal         
Pada sebagian besar lingkungan pendidikan madrasah di berbagai wilayah Indonesia dari sabang sampai merauke umumnya telah memiliki organisasi formal terutama yang berhubungan dengan profesi pendidikan seperti kelompok kerja pengawas madrasah (pokjawas), kelompok kerja madrasah (KKM), musyawarah kepala madrasah (MKM), dewan pendidikan dan komite madrasah. Organisasi-organisasi tersebut sangat mendukung manajemen berbasis madrasah untuk melakukan berbagai terobosan dalam peningkatan kualitas pendidikan wilayah kerjanya.
*      Organisasi profesi
Organisasi profesi pendidikan sebagai wadah untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan seperti pokjawas, KKM, kelompok kerja guru (KKG), musayawarah guru mata pelajaran (MGMP), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), forum peduli guru (FPG), dan ISPI (ikatan sarjana pendidikan Indonesia) sudah terbentuk hamper di seluruh Indonesia dan telah menyentuh berbagai kecamatan. Organisasi profesi tersebut sangat mendukung implementasi MBM dan peningkatan kinerja dan prestasi belajar peserta didik menuju peningkatan kualitas pendidikan nasional.
*      Harapan terhadap kualitas pendidikan
MBM sebagai paradigma baru manajemen pendidikan mempunyai harapan yang tinggi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu madrasah secara optimal. Tenaga kependidikan memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa peserta didik dapat mencapai prestasi yang optimal, meskipun dengan segala keterbatasan sumber daya pendidikan yang ada di madrasah.
*      Input managemen      
Paradigm baru manajemen pendidikan perlu di tunjang oleh input manajemen yang memadai dalam menjalankan roda madrasah dan mengelola madrasah secara efektif. Input manajemen yang telah dimiliki seperti tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis,  program yang mendukung implementasi, ketentuan-ketentuan yang jelas sebagai panutan bagi warga madrasah dalam bertindak, serta adanya system pengendalian mutu yang handal untuk meyakinkan bahwa tujuan yang telah di rumuskan dapat diwujudkan di madarsah.

b. faktor penghambat yang kadang terjadi
Pada dasarnya, secara organisasional, madrasah merupakan organisasi yang mengelola diri (self-organized) untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan karakteristiknya. Dan pengelolaan diri ini dijalankan oleh para pemimpin madrasah melalui sebuah mekanisme manajemen operatif. Namun, karena madrasah di Indonesia merupakan sub sistem dalam makro sistem pendidikan nasional dan tanggung jawab pengelolaannya dibebankan pada Departemen Agama, maka pengelolaan diri madrasah secara individu tidak cukup memberikan dampak perubahan yang signifikan dan luas bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat muslim Indonesia saat ini. Hal tersebut karena kondisi madrasah yang yang tergolong miskin dalam berbagai sumber, termasuk sumber daya manusianya dan inilah salah satu poblem yang menyelimuti kehidupan madrasah.
Berbagai hal yang yang melatarbelakangi persoalan tentang kelemahan manajerial madrasah adalah sebagai berikut:[7][7]
o   Ketidakjelasan Misi, Visi dan Tujuan Madrasah
Dalam bukunya Total Quality Management in Education, Edward Sallis mengemukakan bahwa dalam suatu organisasi tanpa visi, maka perubahan tidak mungkin, tanpa misi maka perubahan bisa salah arah, tanpa insentif, perubahan lama terjadi,tanpa sumber daya perubahan tidak akan terwujud, dan tanpa fasilitas, maka perubahan hanya sedikit. Jika madrasah telah mencanangkan misi dan visi yang jelas, maka tujuan tujuan akan muah dicapai, dilaksanakan, dikontrol dan dievaluasi.
o   Ketidakjelasan struktur dan Tata Kerja
Seringkali terjadi tumpang tindih di lapangan antara wewenang yayasan dengan pengelola madrasah. Salah satu konflik laten dalam pengelolaan madrasah adalah perbedaan kepentingan antara pihak pengelola madrasah dengan yayasan. Yayasan sebagai pemilik biasanya memiliki posisi tawar yang lebih, dan pada umumnya menggunakan kekuasaannya untuk mengatur segala hal. Sebaliknya, madrasah cenderung tidak atau kurang memiliki posisi tawar sehingga secarapsikologis menjadikan pengelola madrasah tersubordinasikan.
o   Kurangnya keterlibatan madrasah
Sebelum isu desentralisasi pendidikan digulirkan dan lebih khusus lagi dengan adanya pendidikan berbasis masyarakat, madrasah adalah salah satu model pendidikan berbasis masyarakat yang telah lama ditengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, perkembangan selanjutnya madrasah yang didirikan masyarakat tersebut kemudian mengalami kemandegan inilah problem klasik yang sering muncul. Ketika madrasah sudah berdiri, maka keterlibatan aktif masyarakat untuk memikirkan nasib, kelangsungan hidup (apalagi pengembangan dan kemajuan) madrasah relatif kurang (kalau tidak bisa dikatakan tidak ada).
o   Lemahnya jaringan (Network)
Banyak terjadi di masyarakat kita, bahwa dalamsatu daerah tertentu terdapat beberapa madrasah yang berdampingan tetapi belum bisa bergandeng tangan secara maksimal, yang terjadi malah sebaliknya saling mematikan. Ini tentu saja salah satu faktor rendahnya/lemahnya madrasah.
o   Lemahnya manajemen
Kelemahan di bidang ini boleh dibilang merupakan “wabah” yang menjangkiti sebagian besar madrasah. Pendanaan terbatas, kurangnya sarana dan prasarana, lemahnya SDM dan minimnya pengetahuan tentang organisasi dan tata kerja merupakan beberapa sebab yang saling kait-mengkait.
c. Solusi problematika madrasah
Untuk mengatasi problematika kelemahan madrasah di atas setidak-tidaknya ada tiga pendekatan yang bisa ditawarkan, yaitu:[8][8]
o   Islamisasi ilmu pengetahuan
Prof.dr. Muhammad Arkaum menganggap bahwa islamisasi IPTEK sebagai suatu kesalahan, sebab hal ini dapat menjebak kita bahwa islam hanya semata-mata sebagai idiologi (USA, 1991) terlepas dari adanya pro dan kontra mengenai masalah ini, bahwa islamisasi ilmu merupakan conditio since quanon, bukan berarti seorang insinyur harus menguasai tafsir, fiqih, ilmu hadits, dsb, namun paling tidak ia berkepribadian sebagai seorang muslim sesuai nilai-nilai islam, bertawakal dsb, demikian juga sebagai ustadz (ulama) sebagai alumni madrasah harus menguasai iptek tetapi paling tidak menginsafi bahwa IPTEK adalah penting bagi pengemangan ilmu pengetahuan itu sendiri dan juga diperintahkan oleh agama. Usaha islamisasi ini tidak hanya akan menghiangkan dikotomi sistem pendidikan kita, juga akan mengikis dikotomi lembaga pendidikan yang pada gilirannya akan menghilangkan sikap dikotomi terhadap lembaga-lembaga pendidikan seperti madrasah dengan sekolah umum sehingga kesan madrasah sebagai sekolah “kelas dua” harus dihilangkan.
o   Legalitas kelembagaan
Sebagai tindak lanjut islamisasi dari ilmu tadi, maka selanjutnya adalah harus ada legalitas kelembagaan dan pengakuan profesional terhadap lembaga pendidikan semacam madrasah. Sebanarnya legalitas kelembagaan ini sudah tertuang didalam UUSPN.i No 2 tahunn 1989 namun baru tahap formalitas, kenyataan dilapangan belum diakui 100% masih terdapat dikotomi terhadap pengekuan profesionalisme antara alumni pendidikan umum dengan alumni madrasah dalam kiprah membangun bangsa yang mayoritas penduduknya muslim ini. Karena itu penataan secara substansial baik kurikulum dan kualitas pendidik menjadi sangat esensial.
o   Kurikulum pendidikan dan kualitas pendidik
Beberapa pergantian kurikulum dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, bagi madrasah terakhir adalah adanya kurikulum berciri khas agama Islam yang menerapkan 10% pendidikan agama dan 90% pendidikan umum. Kurikulum ini kiranya membawa angin segar bagi pengembangan pendidikan Islam. Adapun yang menjadi ciri khas dari kurikulum jenis ini adalah: (1) matapelajaran-matapelajaran keagamaan yang dijabarkan dari pendidikan Islam (Qur’an, Hadits, Akidah Akhlak, Ibadah, Syari’ah, Fiqh dan Sejarah Islam), (2) suasana keagamaan yang berupa suasana kehidupan madrasah yang agamis, adanya sarana ibadah, penggunaan metode dan pendekatan yang agamis dalam setiap matapelajaran dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan berakhlak mulia, disamping memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam upaya meningkatkan kualitas output madrasah juga perlu didukung oleh pemanfaatan pendidik yang berkualitas. Dengan demikian persoalan keprofesionalan tenaga pendidik dalam madrasah sangat diperlukan guna pengembangan madrasah ke arah yang lebih baik.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manajemen adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian kegiatan, seperti perencanaan, pengorganisasian, penggerakandan dan pengendalian/pengawasan, yang dilakukan untuk menetukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya.
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran".
Manajemen madrasah adalah segenap proses penyelenggaraan dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia melalui pemanfaatan sumber daya manusia ataupun non manusia untuk mencapai tujuan madrasah agar efektif dan efisien.
Problematika madrasah antara lain;
(1) Ketidakjelasan Misi, Visi dan Tujuan Madrasah,
(2) Ketidakjelasan struktur dan Tata Kerja,
(3) Kurangnya keterlibatan masyarakat,
(4) Lemahnya jaringan (Network),
(5) Lemahnya manajemen.
Untuk mengatasi problematika kelemahan madrasah di atas setidak-tidaknya ada tiga pendekatan yang bisa ditawarkan, antara lain;
(1) Islamisasi ilmu pengetahuan,
(2) Legalitas kelembagaan,
(3) Kurikulum pendidikan dan kualitas pendidik.



[1][1] Sunhaji, Manajemen Madrasah, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2006), hal. 8
[2][2] Suharsimi Arikunto, Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media Yogyakarta, 2008), hal. 3
[3][3] http://www.geocities.com/agus_lecturer/manajemen/pengertian_manajemen.htm
[4][4] http://citraedukasi.blogspot.com/2007/12/implementasi-tqm-di-madrasah.html
[5][5] Sunhaji, Manajemen Madrasah, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2006), hal. 74
[6][6] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), hal.80
[7][7] Sunhaji, Manajemen Madrasah, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2006), hal. 84
[8][8] Ibid, hal. 80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar