KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, taufik, serta inayahnNya kepada kami selaku penyusun sehingga kami
dapan menyelesaikan makalah yang berjudul “THARIQAT” guna untuk mempermudah
proses belajar mengajar antara dosen dan mahasiswa.
Untuk kedua kalinya kami khaturkan salam dan salawat
kepada junjungan kami Nabi besar Muhammad Saw yang telah membawa kami dari
zaman kebodohan menuju alam yang terang benderang serta penuh dengan ilmu
pengetahuan seperti sekarang sehingga kami dapan menyusun makalah ini walaupun dalam proses penyusunannya kami
menemukan berbagai macam kesulitan.
Dan tidak lupa pula kami khaturkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing yang telah membimbing serta mengarahkan
kami sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar serta
selesai tepat pada waktunya.
Kami selaku penyusun makalah ini menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari dosen, teman-teman serta semua pihak yang membaca demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,
khususnya bagi kami sendiri selaku penyusun.
Bima, 03 Maret 2013 Tim Penyusun
DAFTAR
ISI
COVER
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………i
DAFTAR
ISI………………………………………………………………….….ii
A. PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang…………………………………………………………..iii
2. Rumusan
Masalah……………………………………………………….iii
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
qiyas………………………………………………………….1
2. Rukun
qiyas………………………………………………………………3
3. Syarat-syarat
qiyas……………………………………………………….5
4. Macam-macam
qiyas…………………………………………………….6
5. Kedudukan
dan kehujahan qiyas…………………………………………7
6. Tempat
berlakunya qiyas…………………………………………………9
7. Keragu-raguan
penolak qiyas…………………………………………….9
C. PENUTUP
1. Kesimpulan………………………………………………………………10
2. Saran……………………………………………………………………..10
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Tasawuf adalah khasanah keagamaan Islam yang sudah ada
semenjak Rasulluloh SAW, walaupun dalam perkembangan berikutnya bentuk dan
corak tasawuf itu berbeda dengan yang pernah dipraktekan oleh Rasulluloh SAW.
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan
para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, misalnya menyebutkan
lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah ( ahl al-suffah)
yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah, saf (barisan
dalam sholat), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat), dan suf ( kain yang
dibuat dari kain wol). Keseluruhan kata-kata ini bisa saja dihubungkan dengan
tasawuf.
Dari segi Linguistik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami
bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri,
beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu ahli amat
tergantung pada sudut pandang yang digunakannya masing- masing. Ada tiga sudut
pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut
pandang manusia sebgai makhluk terbatas, tasawuf dapat didefinisikan sebagai
upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia,dan
memusatkan perhatiyan hanya kepada Allah SWT. Sudut pandang manusia sebagai
makhluk yang harus berjuang,maka tasawuf dapat di definisikan sebagai upaya
memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Terakhir terlihat dari sudut pandang manusia
sebagai makhluk yang ber-Tuhan,maka tasawuf didefinisikan sebagai kesadaran
fitrah (Ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju pada
kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang di maksud
dengan tasawuf ialah suatu ketekunan dalam beribadah, persembahan yang
berhubungan langsung dengan Allah (sufi), menjauhkan diri dari hal kemewahan
duniawi, berlaku zuhud terhadap yang di buru oleh kebanyakan manusia, seperti
kelezatan dan harta benda dan selalu menghindarkan diri dari makhluk di dalam
berkhalwat (mengasingkan diri) untuk beribadah. Didalam mempelajari ilmu
tasawuf banyak sekali didalamnya mengandung berbagai macam ajaran-ajaran,
diantaranya : 1. Takhali, tahalli dan
tajalli. 2. Munajat, muraqabah dan muhasabah. 3. Syari’at, thariqat dan ma’rifat
Dari
berbagai macam ajaran-ajaran tasawuf yang disebutkan di atas dapat diambil
pengertian secara garis besar sebagai berikut:
a. Takhali, Tahalli dan Tajalli. Takhalli
ialah membersihkan diri dari sifat-sifat tercelah, dari maksiat lahir dan
bathin. Tahalli bearti mengisi diri dengan perilaku yang baik, dengan taat
lahir, dan bathin, setelah dikosongkan dari perilaku maksiat dan tercelah.
Tajalli berarti merupakan tingkat kesempurnaan pendidikan mental yang berarti
tersingkapnya cahaya ghaib untuk hati.
b. Munajat, Muraqabah dan Muhasabah. Munajat
ialah melaporkan segala aktivitas yang dilakukan kehadirat Allah SWT. Muraqabah
merupakan suatu sikap mental yang senantiasa melihat, dan memandang, baik dalam
keadaaan bergerak atau diam, baik dalam keadaan lapang atau susah, bahwa diri
kita senantiasa terasa berhadapan dengan Allah atau senantiasa dalam pengawasan
Allah SWT. Muhasabah berarti memperhitungkan terhadap amal perbuatan yang telah
kita lakukan. Dengan demikian, sikap muraqabah dan muhasabah adalah sikap
mental yang harus senantiasa ditanamkan dalam diri agar kualitas iman dan
ibadah semakin meningkat,demikian pula, kedalaman dan kepekaan rohani akan
terbangun,sehingga jiwa akan menuju kepada kebersihan diri untuk menuju
kehadirat Illahi.
c. Syari’at, Thariqat dan Ma’rifat. Syari’at
adalah undang-undang dari garis yang telah ditentukan berupa hukum-hukum halal
dan haram, yang diperintahkan dan yang dilarang. Thariqat adalah suatu jalan
yang ditempuh oleh para sufi yang berpangkal dari syari’ah. Sedangkan ma’rifat
adalah kumpulan ilmu pengetahuan, perasaan, pengalaman dan ibadah terhadap
Allah SWT (syariat) dengan kesediaannya menempu jalan (thariqat) untuk mencapai
hakikat.
Sesuai dengan judul pada makalah ini
yaitu tentang ajaran thariqat dalam ilmu tasawuf, maka pada pembahasan pada
makalah ini dibatasi pada ruang lingkup pengertian, unsur-unsur, dan tata cara dalam
thariqat, serta thariqat yang berkembang di Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Untuk lebih mengarahkan isi dari
makalah ini perlu kami buat rumusan masalah sebagai berikut :
a. Apa pengertian tasawuf dan Thariqat ?
b.
Apa saja unsur-unsur pembangun
thariqat ?
c.
Bagaimana pengaruh tasawuf
thariqat di Indonesia ?
d. Bagaimana
cara melakukanya ?
B.
PEMBAHASAN
1)
Pengertian Thariqat
Dari segi bahasa, thariqat atau ada yang menyebut tarekat
berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan atau petunjuk jalan atau cara,
metode, sistem (al-uslub), mazhab, aliran, keadaan (al-halah), tiang tempat
berteduh, tongkat, dan payung (‘amud al-mizalah). Secara singkat dapat
disebutkan bahwa thariqat adalah suatu jalan, keadaan, atau petunjuk agar
sampai pada suatu tujuan yaitu pada Allah SWT. Dalam firman Allah, “Dan
bahwasannya jika mereka tetap (istiqomah)menempuh jalan (thariqat),
sesungguhnya akan Kami beri minum mereka dengan air yang berlimpah ruah (rezeki
yang banyak).”(QS. 73:26)
Dalam bukunya, Mukhtar Hadi mendefinisikan thariqat sebagai
jalan atau cara yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jalan yang
ditempuh untuk mendekatkan diri pada Tuhan itu sendiri terdiri dari dua bagian
(mujahadah) yang berupa renungan batin dan berbagai macam latihan rohani
(riyalat) yang ditentukan dan diatur oleh para sufi sendiri. Renungan batin
atau disebut juga renungan salafi, yaitu filsafat kebatinan yang terdiri dari
mawas diri, penguasaan nafsu-nafsu, pembinaan akhlak mulia dan memuncak pada
membersihkan hati dengan keinginan hanya pada Allah saja. Sedangkan pada bagian
kedua yakni riyalat bersifat praktis yaitu sebagai sarana pemusatan fikiran dan
kesadaran hanya pada zat Allah dengan penuh emosional (rindu dendam).
Menurut Jaiz (2005 : 119) tarekat berasal dari
bahasa arab yaitu thariqah yang artinya jalan. Kemudian mereka maksudkan
sebagai jalan menuju tuhan; ilmu batin, tasawuf.
Sedangkan
menurut Mustofa (2010: 280), istilah tarekat berasal dari kata At-Tariq (jalan)
menuju kepada hakikat, atau dengan kata lain pengalaman syariat.
Menurut Huda (2008: 61) secara istilah, tarekat
mengandung arti jalan menuju Allah guna mendapatkan ridha-Nya dengan cara
manaati ajaran-Nya.
Menurut L. massignon dalam buku Mustofa (2010: 281) yang
pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan tasawuf dibeberapa Negara
islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah tarekat mempunyai dua macam
pengertan, yaitu:
a. Tarekat
yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang
yang menempuh kehidupan tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang
disebut ”Al-Maqamat” dan “Al-Ahwal”. Pengertian yang seperti ini, menonjol
sekitar abad ke-IX dan ke-X Masehi.
b. Tarekat
yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut aturan yang telah
dibuat oleh seorang Syekh yang menganut aliran tarekat tertentu. Maka dalam
perkumpulan itulah seorang Syekh yang menganut suatu aliran yang mengajarkan
Ilmu Tasawuf menurut aliran tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan
murid-muridnya. Pengertian seperti ini, menonjol sesudah abad ke-IX Masehi.
2. Sejarah timbulnya tarekat
Ditinjau
dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai
suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namun menurut Asy-Syibi dalam buku
Anwar (2008: 207) mengungkapkan tokoh yang pertama kali memperkenalkan sistem
thariqat (tarekat) adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di Baghdad, Sayyid Ahmad
Ar-Rifa’I di Mesir dengan tarekat Riffa’iyah, dan Jalal Ad-din Ar-Rumi di
Parsi.
Tarekat
pada awal kemunculannya memang dibawa oleh ketiga tokoh diatas, menurut teori
lain tentang sejarah kemunculan tarekat yang dikemukakan oleh John O Voll dalam
buku Anwar (2008: 208) adalah:
Ia
menjelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah
islam, dan para sufi yang mengembangkan jalan-jalan spiritual personal mereka
dengan melibatkan praktik-prektik ibadah, pembacaan kitab suci, dan kepustakaan
tentang kesalehan. Para sufi ini terkadang terlibat konflik dengan
otoritas-otoritas dalam komunitas islam dan memberikan alternative terhadap
orientasi yang lebih bersifat legalistik, yang disampaikan kebanyakan ulama.
Namun, para sufi secara bertahap menjadi figur-figur penting dalam kehidupan
keagamaan di kalangan penduduk awam dan mulai mengumpulkankelompok-kelompok
pengikut yang diidentifikasi dan diikat bersama oleh jalan tasawuf khusus
(tarekat) sang guru. Menjelang abad ke-12 M (ke-5 H), jalan-jalan ini mulai
menyediakan basis bagi kepengikutan yang lebih permanen, dan tarekat-tarekat
sufi pun muncul sebagai organisasi sosial utama dalam komunitas islam.
Pada awal
kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu khurasan (Iran) dan
mesepotamia (Irak).
Pada perkembangan selanjutnya, thariqat lalu diartikan
sebagai suatu organisasi (kumpulan) yang memiliki syaikh yaitu guru thariqat,
upacara riyual dan bentuk zikir tertentu. Organisasi tersebut biasanya
dilakukan pada suatu tempat (asrama) yang disebut Ribath atau Zawiyah yang di
dalamnya terdapat kitab-kitab yang digunakan untuk mempelajari ajaran thariqat,
tentang zikir atau perjanjian-perjanjian tertentu antara murid dan gurunya yang
disebut baiat.
2)
Unsur-Unsur Thariqat
Dalam
ajaran thariqat terdapat beberapa unsur atau ciri yang secara umum dimiliki
oleh organisasi-organisasi thariqat. Unsur-unsur tersebut antara lain sebagai
berikut:
a) Adanya
Syekh (Mursyid, Darwish, Guru)
Dalam organisasi thariqat, adanya Syekh atau guru sangat
penting, karena tidak saja berperan sebagai pemimpin yang mengawasi muridnya
dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga sebagai pemimpin kerohanian yang
tinggi kedudukannya. Ia yang akan menuntun murid-muridnya pada tujuan thariqat
serta sebagai penghubung antara murid dengan Tuhan. Untuk menjadi seorang Syekh
tidaklah mudah. Selain harus memiliki pengetahuan yang lengkap tentang
thariqat, ia juga harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang
murni. Syekh memiliki wakil yang disebut dengan Khalifah.
Dalam Ta’lim Muta’allim disebutkan, yang di kutip
oleh Abu Bakar Aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat, bahwa “Man la
syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya barang siapa yang tidak
mempunyai guru, maka gurunya adalah setan.
Ungkapan tersebut secara tidak langsung memberikan dampak,
bahwa guru merupakan seorang yang ekslusif. Seakan-akan guru mempunyai otoritas
yang mutlak dalam memberikan arahan (ilmu). Ini berkaitan dengan kajian ilmu
tarekat (tasawuf) itu sendiri.
Menurut Imam Ghazali yang dikutip dalam bukunya Amin Syukur
“Tasawuf Konstektual”, ini berkaitan dengan bidang ilmu, pertama
kaitannya dengan ilmu secara umum. Orang awam dalam mempelajari ilmu harus
mendapatkan bimbingan dari seorang guru, agar ilmu yang didapatkan bisa terarah
dan benar. Kedua, ini berkaitan dengan kajian ilmu tarekat, yakni
tasawuf. Ilmu tawasuf adalah ilmu yang terkait dengan olah jiwa dan olah batin,
yang mana didalam mempelajari ilmu ini harus benar-benar dibimbing oleh seorang
mursyid yang mempunyai otoritas, yaitu secara spiritual telah
mendapatkan mandat dari mursyid-nya untuk menjadi guru dan telah teruji
secara praktek dalam kehidupan sehari-hari, agar tidak tergelincir dari
praktek-praktek yang tidak dibenarkan dalam agama.
Dengan demikian seorang mursyid dalam tarekat mempunyai
tanggunga jawab yang besar:
1. Pertama: ia harus alim dan ahli dalam
memberikan tuntunan- tuntunan kepada murid-muridnya, baik dalam ilmu fiqh,
aqa'id dan tauhid serta ilmu umum lainnya;
2. Kedua: bahwa ia mengenal atau arif dengan
segala sifat-sifat kesempurnaan hati, segala adab-adabnya, segala kegelisahan
jiwa dan penyakitnya, begitu juga mengetahui cara menyehatkannya kembali serta
memperbaikinya sebagai semula;
3. Ketiga bahwa ia mempunyai belas kasihan
terhadap orang Islam, khusus terhadap murid-muridnya;
4. Keempat mursyid itu hendaklah pandai
menyimpan rahasia muridmuridnya, tidak membuka kebaikan mereka terutama di
depan mata umum, tetapi sebaliknya mengawasi dengan pandangan Sufinya
yang tajam serta memperbaikinya dengan cara yang sangat bijaksana.
5. Kelima bahwa ia tidak menyalahgunakan amanah
muridnya, tidak mempergunakan harta benda murid-muridnya itu dalam bentuk dan
pada kesempatan apa pun juga, begitu juga tidak boleh menginginkan apa
yang ada pada mereka.
6. Keenam bahwa ia tidak sekali-kali menyuruh
atau memerintah murid-muridnya itu dengan suatu perintah, kecuali jika yang
demikian itu layak dan pantas juga dikerjakan olehnya sendiri, demikian juga
dalam melarang segala macam perbuatan;
7. Ketujuh bahwa seorang mursyid hendaklah
ingat sungguh-si ngguh, tidak terlalu banyak bergaul apalagi bercengkerama
bersenda-gurau dengan muridmuridnya.
8. Kedelapan ia mengusahakan segala ucapan
bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan, terutama tentang ucapan-ucapan yang
pada pendapatnya akan memberi bekas kepada kehidupan bathin murid-muridnya itu.
9. Kesembilan seorang mursyid yang jijaksana
selalu berlapang dada, ikhlas, tidak ingin memberi perintah kepada seseorang
murid itu apa yang tidak sanggup.
10. Kesepuluh apabila ia melihat ada seorang
murid, yang karena selalu bersama-sama dan berhubungan dia, memperlihatkan
kebesaran dan ketinggian hatinya, makïi segera ia memerintah murid itu pergi
berkhalwat pada suatu tempat yang tidak jauh, juga tidak terlalu dekat dengan
mursyidnya itu.
11. Kesebelas apabila ia melihat bahwa kehormatan
terhadap dirinya sudah kurang dalam anggapan dan hati murid-muridnya, hendaklah
ia mengambil siasat yang bijaksana untuk mencegah yang demikian itu, karena
kepercayaan dan kehormatan yang berkurang itu, merupakan musuh terbesar
baginya.
12. Kedua belas jangan dilupakan olehnya memberi
petunjuk-petunjuk tertentu dan pada waktu-waktu tertentu kepada murid-muridnya
untuk memperbaiki hal mereka. Ketiga belas sesuatu yang harus mendapat
perhatiannya yang penuh ialah kebangsaan rohani yang sewaktu-waktu timbul pada
muridnya yang masih dalam didikan. Kadang-kadang murid itu menceritakan
kepadanya tentang sesuatu ru'yah yang dilihatnya, mukasyafah yang terbuka
baginya, dan musyadah yang dihadapinya, yang di dalamnya terdapat perkara-perkara
yang istimewa, maka hendaklah ia berdiam diri, jangan banyak berbicara tentang
itu. Sebaliknya hendaklah ia memberikan amal lebih banyak yang dapat menolak
sesuatu yang tidak benar, dan dengan itu ia mengangkat muridnya ke tingkat yang
lebih tinggi dan lebih mulia.
13. Ketiga belas apabila seorang mengundangnya, maka
ia menerima undangan itu dengan penuh kehormatan dan penghargaan, begitu juga
dengan rasa merendahkan diri.
14. Keempat Belas hendaklah ia suka bertanya tentang
seseorang murid yang tidak hadir atau kelihatan serta memeriksa sebab-sebab ia
tidak hadir itu. Serta adab (prilaku-prilaku) lainnya yang sesuai dengan
al-qur’an dan as-sunnah.
b) Murid (murad)
Pengikut thariqat disebut murid, yaitu orang yang
menghendaki pengetahuan dan petunjuk-petunjuk dalam segala amal ibadahnya.
Murid-murid tersebut terdiri dari laki-laki dan perempuan baik masih belum
dewasa maupun sudah lanjut usia. Murid-murid ini tidak hanya harus mempelajari
segala macam pengetahuan tentang ilmu thariqat, tetapi juga harus mematuhi
segala adab dan akhlak yang berlaku baik pada dirinya, pada Syekhnya atau pada
murid lainnya.
Abu Hafsa al-Nisaburi mengatakan: "Sufism
terdiri dari adab (kelakuan baik). Untuk setiap keadaan dan tingkat terdapat
adab yang sesuai (dengan tingkat dan keadaan itu). Untuk setiap waktu terdapat
kelakuan yang sesuai. Barangsiapa mempertahankan adab akan mencapat Maqam Insan
al-Kamil, dan barang siapa meninggalkan adab akan dijauhkan dari
keterterimaan ke dalam Hadhirat Allah."
Adapun adab seorang murid terhadap seorang mursyid menurut
Amru dalam majalah An-Najah yang di kutip dari buku Adabul ‘alim wal
Muta’allim karya Imam Nawawi bab Adab-adab seorang murid yaitu:
1.
Hendaknya ia selalu membersihkan hatinya dari berbagai kotoran agar baik dalam
menerima ilmu dan penjagaannya serta buah dari ilmu tersebut.
2. Dan
Hendaknya memutus hubungan yang menyibukkan dari kesempurnaan dalam mendapatkan
ilmu, dan ridho dengan sedikit dari makanan serta bersabar dari kesempitan
hidup. Berkata Asy Syafi’I rahimahullah : Tidaklah seseorang mencari
ilmu ini [ ilmu diin ] dengan kekayaan dan kemuliaan jiwa dan
mendapatkan keberuntungan. Akan tetapi barang siapa mencarinya dengan kehinaan
diri dan kesempitan hidup dan berhidmat terhadap ‘ulama ia akan mendapat
keberhasilan. Dan berkata juga : tidaklah ilmu didapatkan kecuali dengan
kesabaran dan kehinaan. Dan beliau juga berkata : tidaklah pencari ilmu itu akan
berhasil kecuali dengan kebangrutan, dan dikatakan : dan tidak pula kekayaan
serta kecukupan.
3. Dan
hendaklah ia tawadhu’ terhadap ilmu dan guru, dengan ketawadhu’an
ia akan mendapatkan ilmu.
4.
Mereka berkata dan janganlah mengambil ilmu kecuali dari orang yang telah
sempurna keilmuannya, dan nampak kebaikan dinnya, dan telah sempurna
pengetahuannya, dan telah terkenal penjagaan dan kepemimpinannya.
5. Mereka
berkata dan janganlah mengambil ilmu dari orang-orang yang mengambil ilmunya
hanya dari buku-buku tanpa dibacakan kepada seorang syaikh atau syaikh yang
pandai. Maka barang siapa yang tidak mengambil ilmu kecuali dari buku akan
terjerumus dalam kesalahan [pengucapan] dan banyak darinya kerumitan dan
penyimpangan.
6.
Dan hendaknya melihat gurunya dengan rasa hormat, dan berkeyakinan atas
kesempurnaan dan kepandiannya dalam berbidang. Maka ia akan dapat lebih banyak
mengambil manfaat serta mengilmui apa yang ia dengarkan dari gurunya dalam
ingatannya. Bahwa orang-orang dahulu jika pergi pada gurunya bershodaqah dengan
sesuatu. Dan berdo’a : Ya Allah semoga engkau menutupi ‘aib guru saya dariku,
dan janganlah engkau jauhkan barokah ilmunya dariku.
7.
Dan diantara adab murid hendaknya memilih ridho guru walaupun menyelisihi
pendapatnya. Dan tidak mencela dihadapannya. Dan tidak menyebarkannya secara
sembunyi-sembunyi. Dan hendanya membantah aibnya jika ia mendengarnya. Jika ia
lemah hendanya ia berpisah dari majlis.
8.
Dan janganlah masuk kecuali dengan izinnya. Dan jika masuk satu kelompok hendaklah
mendahulukan yang lebih utama dan lebih tua.
9.
Dan hendaklah masuk dengan keadaan yang paling baik, kosongnya hati dari
berbagai kesibukan, bersih dengan siwak, memotong kumis, serta menghilangkan
bau yang tidak sedap.
10. Dan
memberikan salam terhadap seluruh hadirin dengan suara yang bisa diderkan
seluruh ruangan. Dan menghususkan terhadap syaikhnya sebagai tambahan
penghormatan, demikian pula memberi salam ketika keluar majlis. Dan dalam
sebuah hadist ada perintah tentang hal tersebut serta tidaklah berpaling pada
siapa saja yang mengingkarinya. Dan telah kami permasalaahn ini dalam kitab al
adzkar.
Keberadaan murid dihadapan gurunya ibarat mayit atau bangkai
yang tak berdaya apa-apa. Ia seperti seorang yang memasrahkan dirinya secara
total pada guru atau Syekhnya. Karena thariqat adalah jalan yang harus dilalui
untuk mendekatkan diri pada Allah, maka seorang murid harus memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan syariat agama.
2.
Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti
jejak dan guru, dan melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya.
3.
Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai
kesempurnaan yang hakiki.
4.
Berbuat dan mengisi waktu seefesien mungkin dengan segala
wirid dan doa guna pemantapan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat yang lebih
tinggi.
5. Mengekang hawa nafsu agar terhindar
dari kesalahan yang dapat menodai amal.
c)
Silsilah ( Transmisi)
Silsilah dalam ajaran thariqah mengacu pada garis keguruan
beruap urutan-urutan nama para guru yang mangajarkan dasar-dasar thariqat
secara turun menurun. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi seorang
guru, yaitu menunjukkan ke cabang thariqat mana ia termasuk dan bagaimana
hubungannya dengan guru-guru thariqat lainnya.
Dibawah ini terdapat beberapa salasul. Rabbani
menyebutkan setidaknya ada lebih dari 40 salasul. Beberapa diantara salasul
yang terkenal adalah:
1. Silsilah Qadiriyah. Nama ini merujuk pada
Abd al-Qadir al-Jilani, ia adalah khalifah dar Abu Said Makhzumi, khalifah dari
Abu al-Hasan Ali al-Qarshi, khalifah dari Abu al-Farah al-Tartusi, khalifah
dari Junayd al-Baghdadi bersambung terus sampai Imam Ali. Al-Jilani meminta
jubah kekhalifahan melalui jaringan keturunan Imam Hasan bin Abi Thalib dengan
11 jaringan di antaranya.
2.
Silsilah Yasuya. Dipimpin oleh Ahmad Yasui yang dikenal sebagai
“Shaykh of Turkistan”. Dia adalah khalifah Yusuf Hamdani, khalifah Ali Farmadi
(Shaykh Abu Hamid al-Gazali), khalifah Abd al-Qasim Gorgani, khalifah Abu Usman
Maghribi, khalifah Abu Katib, khalifah Abu Ali Rodbari, khalifah Junayd
Baghdadi terus hingga ke Imam Ali. Ahmad Yasui juga memperoleh jaringan ke Imam
Ali dari para shaykh melalui Muhammad Hanafiyah, anak Imam Ali dari istri
lainnya.
3.
Silsilah Naqshabandiyah. Dinamai dengan nama Bahau al-Din
Naqshaband. Dia adalah khalifah Amir Syed Kalal, khalifah Muhammad Samasi,
khalifah Ali Ramatani, khalifah Mahmud Abu Khayr Faghnavi, khalifah Arif
Regviri, khalifah Abd al-Khaliq Ghayidwani, khalifah Yusuf Hamdani, khalifah
Ali farmadi, khalifah Abu al-Qasim Gorgani, yang berjaring ke atas dengan
Junayd al-Baghdadi dengan 3 jaringan di antaranya. Abu al-Qasim juga
berjaringan ke atas dengan Abu Bakar melalui Abu al-Hasan Khargani, Abu Yazid
al-Bistami, dan Ja’far Shiddiq.
4.
Silsilah Nuriyah. Dinamai dengan Shaykh Abu al-Hasan Nuri. Dia
adalah khalifah dari Sari Saqti.
5.
Silsilah Khazruyah. Diambil dari nama Ahmad Khazruya yang merupakan
khalifah dari Hatim Asum, khalifah Saqiq Balkhi, khalifah Muhammad Ali Ishqi,
khalifah Ibrahim Adham yang menerima kekhalifahan dari Fudhayl bin Ayyas
sebagaimana Imam Muhammad Baqir, cucu Imam Hussein.
6.
Silsilah Shattariyah. Dari Muhammad Arif, khalifah Muhammad Ali
Ishqi, khalifah Shaykh Khuda Qali Mawara al-nahri, khalifah Abd al-Hasan
al-Ishqi, khalifah Abi Mudhaffar Mawlana Turk Tusi, khalifah Bayazid al-Ishqi,
khalifah Muhammad Maghribi, khalifah Abu Yazid al-Bistami hingga Imam Ali.
7. Silsilah Sadat Karram. Pemimpin silsilah
ini adalah Jalal al-Din Bukhari, khalifah leluhurnya dari imam-imam Ahl al-Bayt
dengan 15 jejaring antara dia dan Imam Ali. Dia menerima lebih dari 2 jubah
kekhalifahan. Satu dari Shaykh Rukun al-Din Suhrawardi, cucu dari Bahau al-Din
Multan, yang lain dari Shaykh Nasir al-Din khalifah dari Nizam al-Din Awlia,
khalifah Baba
d) Zikir
dan Wirid
Zikir dan wirid adalah salah satu teknik untuk bermeditasi
dan berkonsentrasi dalam rangkai mencapai ma’rifatullah. Teknik-teknik ini
disusun oleh guru-guru thariqat yang kemudian dipergunakan untuk membimbing
murid-muridnya. Masing-masing organisasi thariqat memiliki bentuk zikir dan
wirid yang berbeda-beda.
Ahli tarekat berkeyakinan, jika seorang hamba telah yakin,
jika lahir batinnya dilihat Allah dan segala perbuatan diawasi Allah, dan
ucapannya di dengar Allah, segala niat dan cita-cita di ketahui Allah, maka
hamba itu akan menjadi sorang yang benar, karena ia selalu ada dalam keadaan
memperhambakan dirinya kepada Allah.
Lalu zikir berarti menyebut-nyebut nama Allah atau ma'rifat
Allah, yang pada keyakinan mereka itu akan melahirkan dua sifat pada manusia,
pertama seorang hamba Allah dan kedua kasih kepada Allah.
Jika seorang hamba Allah takut kepada Allah, maka segala
suruhnya akan dikerjakannya dan segala larangannya akan dihentikannya. Seorang
yang kasih kepada Allah tentu akan memilih pekerjaan-pekerjaan yang disukai
Allah dan menggiatkan dia menjauhkan diri pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak
disukai Tuhan.
Pada keyakinan golongan tarekat-tarekat tiap-tiap manusia
tidak terlepas dari empat perkara. Pertama manusia itu kedatangan
nikmat, kedua kedatangan bala, ketiga berbuat ta'at, dan keempat
berbuat dosa. Selama manusia itu mempunyai nafsu yang turun naik, mestilah ia
mengerjakan salah satu pekerjaan dari empat macam tersebut. Jika pada waktu itu
lupa kepada Tuhan, maka nikmat itu akan membawa sombong, tekebur dan tinggi
hati padanya. Tetapi jika ia teringat kepada Tuhan pada waktu ia menerima
nikmat itu, sifatnya berlainan sekali, ia syukur kepada Tuhan, yang akan
membawa lebih baik kelakuannya.
Dengan alasan itulah golongan tarekat mempertahankan dzikir,
tidak saja arti mengingat Allah dalam hati, tetapi menyebut Allah senantiasa
kala dengan lidahnya untuk melatih segala anggotanya. Mereka beranggapan, jika
segala perbuatan dikerjakan tanpa mengingat Allah, maka mereka beranggapan
kegiatan itu adalah kosong, akan hampa dari pahala yang sebenarnya.
Di antara dalil-dalil yang mereka (golongan tarekat)
kemukakan adalah sebagai berikut:
1. Pertama: Kerana mengerjakan zikir itu
mengingatkan kepada Allah, dan semata-mata menjunjung nama Allah. Firman Allah:
"Hai segala mereka yang percaya kepada Allah sebut olehmu akan Allah
dengan sebutan yang banyak dan ucaplah tasbih pada pagi-pagi dan petang- petang".
(Quran Al-Mu’minun: 41).
2.
Kedua: Orang yang zikir Allah itu mengingat akan Allah dan Allah
mengingat pula akan orang itu. Firman Allah: "Sebut olehmu akan Daku,
nescaya Aku menyebut pula akan dikau". (Quran al-Baqoroh: 152).
3.
Ketiga: Dalam zikir Allah itu nyata benar kebesaran Allah, bahkan
untuk selama hidup, Firman Allah: "Zikir Allah itu terlebih besar daripada
ibadat-ibadat yang lain". (Quran an-Nur: 45).
4.
Keempat: Zikir Allah itu menyembuhkan segaia penyakit di dalam hati
Dalam kitab-kitab tasawuf jumlah penyakit di dalam hati itu ada kira-kira
60 macam. Maka untuk menyembuhkan segala penyakit itu ialah dengan zikir Allah.
Sabda Nabi: "Menyebut Allah itu ialah menyembuhkan penyakit. hati ertinya
memperbaiki hati". (Hadis Daihumi dari Anas bin Malik).
5. Kelima: Zikir Allah itu menetapkan hati
dan jikalau hati sudah tetap akan segala anggota yang tujuh pun akan tetap pula
mengerjakan segala suruhan Allah, demikian sebaliknya. Firman Allah: "Ada
pun segala mereka yang iman, yang percaya kepada Allah dan yang tetap hatinya
dengan zikir Allah, ketahuilah olehmu bahawa dengan berzikir itu segala hati
akan tetap" (Quran ar-Ra’ad: 28).
e) Baiat,
Ijazah dan Khalifah
Bai’at dalam bahasan tarekat merupakan janji setia yang biasanya
diucapkan oleh calon salik dihadapan Mursyid untuk menjalankan
segala persuaratan yang ditetapkan oleh seorang mursyid dan tidak akan
melanggarnya sesuai dengan syari’at Islam.
Adapun sesuatu yang melandasi bai’at terdapat pada
al-Qur’an surat al-Fath (48) ayat 10: Artinya:
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji
setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah
di atas tangan mereka, Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat
ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.
1. Bai’at itu sendiri ada dua macam, yaitu Bai’at
Shuwariyah, yaitu bai’at bagi seorang kandidat salik yang
hanya sekedar ia mengakui bahwa Mursyid yang mem-bai’at-nya ialah
gurunya tempat ia berkonsultasi, dan Mursyid itu pun mengakui, orang
tersebut adalah muridnya. Ia tidak perlu meninggalkan keluarganya untuk menetap
tinggal dalam zawiyah tarikat itu untuk terus-menerus bersuluk atau
berzikir. Ia boleh tinggal di rumahnya dan bekerja sehari-hari sesuai dengan
tugasnya. Ia sekadar mengamalkan wirid yang diberikan oleh gurunya itu pada
malam-malam tertentu dan ber-tawasul kepada gurunya itu. Ia dan keluarganya
bersilaturrahmi kepada gurunya itu sewaktu-waktu pula. Apabila ia memperoleh
kesulitan dalam hidup ini, ia berkonsultasi dengan gurunya itu pula.
2.
Bai’at ma’nawiyah, yaitu bai’at bagi seorang
kandidat salik yang bersedia untuk dididik dan dilatih menjadi sufi yang
arif billah. Kesediaan salik untuk dididik menjadi sufi itu pun
sudah barang tentu berdasarkan pengamatan dan keputusan guru tarikat itu. Salik
yang masuk tarikat melalui bai’at yang demikian harus meninggalkan
anak-istri dan tugas keduniaan. Ia berkhalwat dalam zawiyah tarikat di dalam
penegelolaan syekhnya.Khalwat ini bisa berlangsung selama beberapa tahun
bahkan belasan tahun.
f) Khalwat
dan Suluk
Khalwat adalah kegiatan menyepi untuk sementara waktu dari
kesibukan duniawi. Di Indonesia istilah suluk yang secara harfiah berarti
menempuh jalan spiritual, lebih lazim digunakan dan lamanya biasanya sepuluh
atau dua puluh hari. Selama melakukan khalwat, seseorang makan dan minum
sedikit sekali. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk berzikir dan tidak
berbicara kecuali pada syekhnya dan hanya terbatas pada soal-soal kerohanian
saja.
3)
Thariqat Yang Berkembang Di Indonesia
a)
Thariqat Qodariyyah
Thariqat ini didirikan oleh seorang guru (syekh) sufi yang
terkenal, yaitu Syekh Abdul Qodir Jailani di Baghdad. Beliau dilahirkan tahun
470 H (1255 M) dan meninggal pada tahun 562 H. Murid-murid Syekh Abdul Qadir
Jailani tersebar dimana-mana dan thariqatnya berkembang ke seluruh dunia Islam
termasuk Indonesia. Pengaruh thariqat ini cukup banyak meresap di hati
masyarakat yang dituturkan lewat bacaan manaqib pada acara-acara tertentu.
Thariqat ini berkembang dengan pesat. Pada awalnya,
murid-murid-murid Syekh Abdul Qadir Jailani mendapatkan ijazah, lalu dengan
ijazah ini, murid-murid tersebut mengadakan cabang dari thariqat yang ada di
pusat, yaitu Baghdad. Kemudian murid lain pun mengadakan thariqat di tempat
lain dimana dia berada, dan seterusnya sampai thariqat Qodiriyyah ini
berkembang ke berbagai belahan dunia Islam, seperti Iraq, Turki, India, China,
Sudan, Maroko dan Indonesia.
b)
Thariqat Rifaiyyah
Thariqat ini didirikan oleh Syekh Ahmad bin Abi al-Hasan
al-Rifai, yang meninggal di Umm Abidah pada tanggal 22 Jumadil Awal tahun 578 H
(1175 M). Thariqat Rifaiyyah termasuk suatu thariqat besar dengan pengaruh dan
pengikut yang besar pula, pendirinya sendiri termasuk seorang yang luar biasa.
Banyak pengikutnya sampai sekarang di Mesir.
Ciri
thariqat ini adalah penggunaan tabuhan rabana dalam wiridnya, yang diikuti
dengan tarian dan permainan debus. Permainan debus ini berkembang pula di
daerah Sunda, khususnya Banten, Jawa Barat.
Salah satu tujuan dari thariqat ini adalah melatih muridnya
tahan api, tahan dilukai dan debus (berjalan di atas pecahan kaca) dan
mematukkan dirinya sendiri pada ular berbisa. Apabila mereka tidak merasa lagi
sakitnya dilukai, dipatuk ular atau menelan kaca dan berjalan di atas api, hal
itu pertanda murid itu pertanda murid itu sudah mencapai fana.
c)
Thariqat Naqsyabandiyyah
Thariqat ini didirikan oleh Muhammad Baha’al-Din al-
Naqsyabandy (717-791 H/1318-1389 M). Salah satu ajaran dari thariqat
Naqsyabandiyyah adalah berzikir di dalam hati atau zikir dengan cara Sirr,
tidak dilahirkan. Thariqat ini berkembang di Afghanistan, India, termasuk juga
ke Indonesia, yaitu daerah Sumatra, Jawa, maupun Sulawesi.
d)
Thariqat Samaniyyah
Thariqat ini didirikan oleh Syekh Saman yang meninggal pada
tahun 1720 M di Madinah. Thariqat ini banyak tersebar luas di Aceh, dan
memiliki pengaruh yang besar pada daerah ini, juga di Palembang serta daerah
lainnya di Sumatra.
Ciri thariqat ini adalah zikirnya dengan suara keras dan
melengking, khususnya ketika mengucapkan lafadz la ilaha illa Allah. Juga
terkenal dengan nama ratib Saman yang hanya mempergunakan perkataan “hu”, yang
artinya Dia Allah. Syekh Saman ini juga mengajarkan agar memperbanyak sholat
dan zikir, kasih pada fakir miskin, jangan mencintai dunia, menukar akal
basyariyyah dengan akal robaniyyah, beriman hanya kepada Allah dengan tulus
ikhlas.
e)
Thariqat Syadziliyyah
Thariqat ini didirikan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili,
seorang sufi aliran suni. Dia berasal dari Sadzilah, Tunisia dan di sana ia
bersama para muridnya pergi ke Mesir lalu tinggal di kota Iskandariyyah,
sekitar tahun 642 H. Thariqat ini berkembang di Andalusia, Indonesia, Afrika
Utara, Afrika Barat, Mesir, dan berbagai negara Arab lainnya.
f)
Thariqat Khalwatiyyah
Thariqat ini didirikan oleh Syekh Zahiruddin di Khurosan dan
merupakan cabang dari thariqat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu al- wajib
al-Suhrawardi. Thariqat ini mula-mula tersiar di Banten pada masa pemerintahan Tirtayasa.
Thariqat ini banyak pengikutnya di Indonesia karena suluk dari thariqat ini
sangat sederhana dalam pelaksanaannya. Untuk membawa jiwa dari tingkat yang
rendah ke tingkat yang lebih tinggi melalui tujuh tingkat, yaitu peningkatan
dari nafsu amarah, lawwamah, mulhammah, muthmainah, radhiyyah, mardiyyah dan
nafsu kamilah.
4)
Tata Cara Pelaksanaan Thariqat
Tata cara
pelaksanaan thariqat antara lain sebagai berikut:
a. Zikir, yaitu ingat yang
terus-menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan namanya dengan lisan.
Zikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi hati, ucapan dan perbuatan agar
tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.
b.
Ratib, yaitu mengucap lafal la ilaha illa Allah dengan gaya,
gerak dan irama tertentu.
c.
Muzik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair
tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumentalia) seperti memukul rebana.
d.
Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid
dan bacaan-bacaan tertentu untuk menimbulkan kekhidmatan.
e. Bernafas, yaitu mengatur cara
bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar