Selasa, 20 September 2016

THARIQAT



KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, serta inayahnNya kepada kami selaku penyusun sehingga kami dapan menyelesaikan makalah yang berjudul “THARIQAT” guna untuk mempermudah proses belajar mengajar antara dosen dan mahasiswa.
Untuk kedua kalinya kami khaturkan salam dan salawat kepada junjungan kami Nabi besar Muhammad Saw yang telah membawa kami dari zaman kebodohan menuju alam yang terang benderang serta penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang sehingga kami dapan menyusun makalah ini  walaupun dalam proses penyusunannya kami menemukan berbagai macam kesulitan.
Dan tidak lupa pula kami khaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing yang telah membimbing serta mengarahkan kami sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar serta selesai tepat pada waktunya.
Kami selaku penyusun makalah ini menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen, teman-teman serta semua pihak yang membaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi kami sendiri selaku penyusun.

                                                                                                            Bima, 03 Maret 2013                                                                                                              Tim Penyusun





DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR……………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………………………………………….….ii
A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang…………………………………………………………..iii
2.      Rumusan Masalah……………………………………………………….iii

B.       PEMBAHASAN
1.      Pengertian qiyas………………………………………………………….1
2.      Rukun qiyas………………………………………………………………3
3.      Syarat-syarat qiyas……………………………………………………….5
4.      Macam-macam qiyas…………………………………………………….6
5.      Kedudukan dan kehujahan qiyas…………………………………………7
6.      Tempat berlakunya qiyas…………………………………………………9
7.      Keragu-raguan penolak qiyas…………………………………………….9

C.       PENUTUP
1.      Kesimpulan………………………………………………………………10
2.      Saran……………………………………………………………………..10


A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tasawuf adalah khasanah keagamaan Islam yang sudah ada semenjak Rasulluloh SAW, walaupun dalam perkembangan berikutnya bentuk dan corak tasawuf itu berbeda dengan yang pernah dipraktekan oleh Rasulluloh SAW. Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah ( ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah, saf (barisan dalam sholat), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat), dan suf ( kain yang dibuat dari kain wol). Keseluruhan kata-kata ini bisa saja dihubungkan dengan tasawuf.

Dari segi Linguistik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu ahli amat tergantung pada sudut pandang yang digunakannya masing- masing. Ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebgai makhluk terbatas, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia,dan memusatkan perhatiyan hanya kepada Allah SWT. Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang,maka tasawuf dapat di definisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Terakhir terlihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan,maka tasawuf didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (Ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang di maksud dengan tasawuf ialah suatu ketekunan dalam beribadah, persembahan yang berhubungan langsung dengan Allah (sufi), menjauhkan diri dari hal kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang di buru oleh kebanyakan manusia, seperti kelezatan dan harta benda dan selalu menghindarkan diri dari makhluk di dalam berkhalwat (mengasingkan diri) untuk beribadah. Didalam mempelajari ilmu tasawuf banyak sekali didalamnya mengandung berbagai macam ajaran-ajaran, diantaranya : 1. Takhali, tahalli dan tajalli. 2. Munajat, muraqabah dan muhasabah. 3. Syari’at, thariqat dan ma’rifat 
Dari berbagai macam ajaran-ajaran tasawuf yang disebutkan di atas dapat diambil pengertian secara garis besar sebagai berikut:

a.       Takhali, Tahalli dan Tajalli. Takhalli ialah membersihkan diri dari sifat-sifat tercelah, dari maksiat lahir dan bathin. Tahalli bearti mengisi diri dengan perilaku yang baik, dengan taat lahir, dan bathin, setelah dikosongkan dari perilaku maksiat dan tercelah. Tajalli berarti merupakan tingkat kesempurnaan pendidikan mental yang berarti tersingkapnya cahaya ghaib untuk hati.

b.      Munajat, Muraqabah dan Muhasabah. Munajat ialah melaporkan segala aktivitas yang dilakukan kehadirat Allah SWT. Muraqabah merupakan suatu sikap mental yang senantiasa melihat, dan memandang, baik dalam keadaaan bergerak atau diam, baik dalam keadaan lapang atau susah, bahwa diri kita senantiasa terasa berhadapan dengan Allah atau senantiasa dalam pengawasan Allah SWT. Muhasabah berarti memperhitungkan terhadap amal perbuatan yang telah kita lakukan. Dengan demikian, sikap muraqabah dan muhasabah adalah sikap mental yang harus senantiasa ditanamkan dalam diri agar kualitas iman dan ibadah semakin meningkat,demikian pula, kedalaman dan kepekaan rohani akan terbangun,sehingga jiwa akan menuju kepada kebersihan diri untuk menuju kehadirat Illahi.

c.       Syari’at, Thariqat dan Ma’rifat. Syari’at adalah undang-undang dari garis yang telah ditentukan berupa hukum-hukum halal dan haram, yang diperintahkan dan yang dilarang. Thariqat adalah suatu jalan yang ditempuh oleh para sufi yang berpangkal dari syari’ah. Sedangkan ma’rifat adalah kumpulan ilmu pengetahuan, perasaan, pengalaman dan ibadah terhadap Allah SWT (syariat) dengan kesediaannya menempu jalan (thariqat) untuk mencapai hakikat.
Sesuai dengan judul pada makalah ini yaitu tentang ajaran thariqat dalam ilmu tasawuf, maka pada pembahasan pada makalah ini dibatasi pada ruang lingkup pengertian, unsur-unsur, dan tata cara dalam thariqat, serta thariqat yang berkembang di Indonesia.


2. Rumusan Masalah
            Untuk lebih mengarahkan isi dari makalah ini perlu kami buat rumusan masalah sebagai berikut :
a.       Apa pengertian tasawuf dan Thariqat ?
b.      Apa saja unsur-unsur pembangun thariqat ?
c.       Bagaimana pengaruh tasawuf thariqat di Indonesia ?
d.      Bagaimana cara melakukanya ?










B. PEMBAHASAN

1) Pengertian Thariqat

Dari segi bahasa, thariqat atau ada yang menyebut tarekat berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan atau petunjuk jalan atau cara, metode, sistem (al-uslub), mazhab, aliran, keadaan (al-halah), tiang tempat berteduh, tongkat, dan payung (‘amud al-mizalah). Secara singkat dapat disebutkan bahwa thariqat adalah suatu jalan, keadaan, atau petunjuk agar sampai pada suatu tujuan yaitu pada Allah SWT. Dalam firman Allah, “Dan bahwasannya jika mereka tetap (istiqomah)menempuh jalan (thariqat), sesungguhnya akan Kami beri minum mereka dengan air yang berlimpah ruah (rezeki yang banyak).”(QS. 73:26) 

Dalam bukunya, Mukhtar Hadi mendefinisikan thariqat sebagai jalan atau cara yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri pada Tuhan itu sendiri terdiri dari dua bagian (mujahadah) yang berupa renungan batin dan berbagai macam latihan rohani (riyalat) yang ditentukan dan diatur oleh para sufi sendiri. Renungan batin atau disebut juga renungan salafi, yaitu filsafat kebatinan yang terdiri dari mawas diri, penguasaan nafsu-nafsu, pembinaan akhlak mulia dan memuncak pada membersihkan hati dengan keinginan hanya pada Allah saja. Sedangkan pada bagian kedua yakni riyalat bersifat praktis yaitu sebagai sarana pemusatan fikiran dan kesadaran hanya pada zat Allah dengan penuh emosional (rindu dendam). 

Menurut Jaiz (2005 : 119) tarekat berasal dari bahasa arab yaitu thariqah yang artinya jalan. Kemudian mereka maksudkan sebagai jalan menuju tuhan; ilmu batin, tasawuf. 
Sedangkan menurut Mustofa (2010: 280), istilah tarekat berasal dari kata At-Tariq (jalan) menuju kepada hakikat, atau dengan kata lain pengalaman syariat.
Menurut Huda (2008: 61) secara istilah, tarekat mengandung arti jalan menuju Allah guna mendapatkan ridha-Nya dengan cara manaati ajaran-Nya.
Menurut L. massignon dalam buku Mustofa (2010: 281) yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan tasawuf dibeberapa Negara islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah tarekat mempunyai dua macam pengertan, yaitu:
a. Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut ”Al-Maqamat” dan “Al-Ahwal”. Pengertian yang seperti ini, menonjol sekitar abad ke-IX dan ke-X Masehi.
b. Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut aturan yang telah dibuat oleh seorang Syekh yang menganut aliran tarekat tertentu. Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh yang menganut suatu aliran yang mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya. Pengertian seperti ini, menonjol sesudah abad ke-IX Masehi.

2.      Sejarah timbulnya tarekat
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namun menurut Asy-Syibi dalam buku Anwar (2008: 207) mengungkapkan tokoh yang pertama kali memperkenalkan sistem thariqat (tarekat) adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di Baghdad, Sayyid Ahmad Ar-Rifa’I di Mesir dengan tarekat Riffa’iyah, dan Jalal Ad-din Ar-Rumi di Parsi. 
Tarekat pada awal kemunculannya memang dibawa oleh ketiga tokoh diatas, menurut teori lain tentang sejarah kemunculan tarekat yang dikemukakan oleh John O Voll dalam buku Anwar (2008: 208) adalah:
Ia menjelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah islam, dan para sufi yang mengembangkan jalan-jalan spiritual personal mereka dengan melibatkan praktik-prektik ibadah, pembacaan kitab suci, dan kepustakaan tentang kesalehan. Para sufi ini terkadang terlibat konflik dengan otoritas-otoritas dalam komunitas islam dan memberikan alternative terhadap orientasi yang lebih bersifat legalistik, yang disampaikan kebanyakan ulama. Namun, para sufi secara bertahap menjadi figur-figur penting dalam kehidupan keagamaan di kalangan penduduk awam dan mulai mengumpulkankelompok-kelompok pengikut yang diidentifikasi dan diikat bersama oleh jalan tasawuf khusus (tarekat) sang guru. Menjelang abad ke-12 M (ke-5 H), jalan-jalan ini mulai menyediakan basis bagi kepengikutan yang lebih permanen, dan tarekat-tarekat sufi pun muncul sebagai organisasi sosial utama dalam komunitas islam.  
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu khurasan (Iran) dan mesepotamia (Irak).

Pada perkembangan selanjutnya, thariqat lalu diartikan sebagai suatu organisasi (kumpulan) yang memiliki syaikh yaitu guru thariqat, upacara riyual dan bentuk zikir tertentu. Organisasi tersebut biasanya dilakukan pada suatu tempat (asrama) yang disebut Ribath atau Zawiyah yang di dalamnya terdapat kitab-kitab yang digunakan untuk mempelajari ajaran thariqat, tentang zikir atau perjanjian-perjanjian tertentu antara murid dan gurunya yang disebut baiat. 

2) Unsur-Unsur Thariqat

Dalam ajaran thariqat terdapat beberapa unsur atau ciri yang secara umum dimiliki oleh organisasi-organisasi thariqat. Unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut:

a) Adanya Syekh (Mursyid, Darwish, Guru)
Dalam organisasi thariqat, adanya Syekh atau guru sangat penting, karena tidak saja berperan sebagai pemimpin yang mengawasi muridnya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga sebagai pemimpin kerohanian yang tinggi kedudukannya. Ia yang akan menuntun murid-muridnya pada tujuan thariqat serta sebagai penghubung antara murid dengan Tuhan. Untuk menjadi seorang Syekh tidaklah mudah. Selain harus memiliki pengetahuan yang lengkap tentang thariqat, ia juga harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang murni. Syekh memiliki wakil yang disebut dengan Khalifah.

Dalam Ta’lim Muta’allim disebutkan, yang di kutip oleh Abu Bakar Aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat, bahwa “Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan.
Ungkapan tersebut secara tidak langsung memberikan dampak, bahwa guru merupakan seorang yang ekslusif. Seakan-akan guru mempunyai otoritas yang mutlak dalam memberikan arahan (ilmu). Ini berkaitan dengan kajian ilmu tarekat (tasawuf) itu sendiri.
Menurut Imam Ghazali yang dikutip dalam bukunya Amin Syukur “Tasawuf Konstektual”, ini berkaitan dengan bidang ilmu, pertama kaitannya dengan ilmu secara umum. Orang awam dalam mempelajari ilmu harus mendapatkan bimbingan dari seorang guru, agar ilmu yang didapatkan bisa terarah dan benar. Kedua,  ini berkaitan dengan kajian ilmu tarekat, yakni tasawuf. Ilmu tawasuf adalah ilmu yang terkait dengan olah jiwa dan olah batin, yang mana didalam mempelajari ilmu ini harus benar-benar dibimbing oleh seorang mursyid yang mempunyai otoritas, yaitu secara spiritual telah mendapatkan mandat dari mursyid-nya untuk menjadi guru dan telah teruji secara praktek dalam kehidupan sehari-hari, agar tidak tergelincir dari praktek-praktek yang tidak dibenarkan dalam agama.
Dengan demikian seorang mursyid dalam tarekat mempunyai tanggunga jawab yang besar: 
1.      Pertama: ia harus alim dan ahli dalam memberikan tuntunan- tuntunan kepada murid-muridnya, baik dalam ilmu fiqh, aqa'id dan tauhid serta ilmu umum lainnya;
2.      Kedua: bahwa ia mengenal atau arif dengan segala sifat-sifat kesempurnaan hati, segala adab-adabnya, segala kegelisahan jiwa dan penyakitnya, begitu juga mengetahui cara menyehatkannya kembali serta memperbaikinya sebagai semula;
3.      Ketiga bahwa ia mempunyai belas kasihan terhadap orang Islam, khusus terhadap murid-muridnya;
4.      Keempat mursyid itu hendaklah pandai menyimpan rahasia muridmuridnya, tidak membuka kebaikan mereka terutama di depan mata umum, tetapi sebaliknya mengawasi dengan pandangan Sufinya yang  tajam serta memperbaikinya dengan cara yang sangat bijaksana.
5.      Kelima bahwa ia tidak menyalahgunakan amanah muridnya, tidak mempergunakan harta benda murid-muridnya itu dalam bentuk dan pada kesempatan apa pun  juga, begitu juga tidak boleh menginginkan apa yang ada pada mereka.
6.      Keenam bahwa ia tidak sekali-kali menyuruh atau memerintah murid-muridnya itu dengan suatu perintah, kecuali jika yang demikian itu layak dan pantas juga dikerjakan olehnya sendiri, demikian juga dalam melarang segala macam perbuatan;
7.      Ketujuh bahwa seorang mursyid hendaklah ingat sungguh-si ngguh, tidak terlalu banyak bergaul apalagi bercengkerama bersenda-gurau dengan muridmuridnya.
8.      Kedelapan ia mengusahakan segala ucapan bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan, terutama tentang ucapan-ucapan yang pada pendapatnya akan memberi bekas kepada kehidupan bathin murid-muridnya itu.
9.      Kesembilan seorang mursyid yang jijaksana selalu berlapang dada, ikhlas, tidak ingin memberi perintah kepada seseorang murid itu apa yang tidak sanggup.
10.  Kesepuluh apabila ia melihat ada seorang murid, yang karena selalu bersama-sama dan berhubungan dia, memperlihatkan kebesaran dan ketinggian hatinya, makïi segera ia memerintah murid itu pergi berkhalwat pada suatu tempat yang tidak jauh, juga tidak terlalu dekat dengan mursyidnya itu.
11.  Kesebelas apabila ia melihat bahwa kehormatan terhadap dirinya sudah kurang dalam anggapan dan hati murid-muridnya, hendaklah ia mengambil siasat yang bijaksana untuk mencegah yang demikian itu, karena kepercayaan dan kehormatan yang berkurang itu, merupakan musuh terbesar baginya.
12.  Kedua belas jangan dilupakan olehnya memberi petunjuk-petunjuk tertentu dan pada waktu-waktu tertentu kepada murid-muridnya untuk memperbaiki hal mereka. Ketiga belas sesuatu yang harus mendapat perhatiannya yang penuh ialah kebangsaan rohani yang sewaktu-waktu timbul pada muridnya yang masih dalam didikan. Kadang-kadang murid itu menceritakan kepadanya tentang sesuatu ru'yah yang dilihatnya, mukasyafah yang terbuka baginya, dan musyadah yang dihadapinya, yang di dalamnya terdapat perkara-perkara yang istimewa, maka hendaklah ia berdiam diri, jangan banyak berbicara tentang itu. Sebaliknya hendaklah ia memberikan amal lebih banyak yang dapat menolak sesuatu yang tidak benar, dan dengan itu ia mengangkat muridnya ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih mulia.
13.  Ketiga belas apabila seorang mengundangnya, maka ia menerima undangan itu dengan penuh kehormatan dan penghargaan, begitu juga dengan rasa merendahkan diri.
14.  Keempat Belas hendaklah ia suka bertanya tentang seseorang murid yang tidak hadir atau kelihatan serta memeriksa sebab-sebab ia tidak hadir itu. Serta adab (prilaku-prilaku) lainnya yang sesuai dengan al-qur’an dan as-sunnah.

b) Murid (murad)

Pengikut thariqat disebut murid, yaitu orang yang menghendaki pengetahuan dan petunjuk-petunjuk dalam segala amal ibadahnya. Murid-murid tersebut terdiri dari laki-laki dan perempuan baik masih belum dewasa maupun sudah lanjut usia. Murid-murid ini tidak hanya harus mempelajari segala macam pengetahuan tentang ilmu thariqat, tetapi juga harus mematuhi segala adab dan akhlak yang berlaku baik pada dirinya, pada Syekhnya atau pada murid lainnya.
Abu Hafsa al-Nisaburi mengatakan: "Sufism terdiri dari adab (kelakuan baik). Untuk setiap keadaan dan tingkat terdapat adab yang sesuai (dengan tingkat dan keadaan itu). Untuk setiap waktu terdapat kelakuan yang sesuai. Barangsiapa mempertahankan adab akan mencapat Maqam Insan al-Kamil, dan barang siapa meninggalkan adab akan dijauhkan dari keterterimaan ke dalam Hadhirat Allah."
Adapun adab seorang murid terhadap seorang mursyid menurut Amru dalam majalah An-Najah yang di kutip dari buku Adabul ‘alim wal Muta’allim karya Imam Nawawi bab Adab-adab seorang murid yaitu:
1.   Hendaknya ia selalu membersihkan hatinya dari berbagai kotoran agar baik dalam menerima ilmu dan penjagaannya serta buah dari ilmu tersebut.
2.  Dan Hendaknya memutus hubungan yang menyibukkan dari kesempurnaan dalam mendapatkan ilmu, dan ridho dengan sedikit dari makanan serta bersabar dari kesempitan hidup. Berkata Asy Syafi’I rahimahullah : Tidaklah seseorang mencari ilmu ini [ ilmu diin ] dengan kekayaan dan kemuliaan jiwa dan mendapatkan keberuntungan. Akan tetapi barang siapa mencarinya dengan kehinaan diri dan kesempitan hidup dan berhidmat terhadap ‘ulama ia akan mendapat keberhasilan. Dan berkata juga : tidaklah ilmu didapatkan kecuali dengan kesabaran dan kehinaan. Dan beliau juga berkata : tidaklah pencari ilmu itu akan berhasil kecuali dengan kebangrutan, dan dikatakan : dan tidak pula kekayaan serta kecukupan.
3.  Dan hendaklah ia tawadhu’ terhadap ilmu dan guru, dengan ketawadhu’an ia akan mendapatkan ilmu.
4.   Mereka berkata dan janganlah mengambil ilmu kecuali dari orang yang telah sempurna keilmuannya, dan nampak kebaikan dinnya, dan telah sempurna pengetahuannya, dan telah terkenal penjagaan dan kepemimpinannya.
5.  Mereka berkata dan janganlah mengambil ilmu dari orang-orang yang mengambil ilmunya hanya dari buku-buku tanpa dibacakan kepada seorang syaikh atau syaikh yang pandai. Maka barang siapa yang tidak mengambil ilmu kecuali dari buku akan terjerumus dalam kesalahan [pengucapan] dan banyak darinya kerumitan dan penyimpangan.
6.   Dan hendaknya melihat gurunya dengan rasa hormat, dan berkeyakinan atas kesempurnaan dan kepandiannya dalam berbidang. Maka ia akan dapat lebih banyak mengambil manfaat serta mengilmui apa yang ia dengarkan dari gurunya dalam ingatannya. Bahwa orang-orang dahulu jika pergi pada gurunya bershodaqah dengan sesuatu. Dan berdo’a : Ya Allah semoga engkau menutupi ‘aib guru saya dariku, dan janganlah engkau jauhkan barokah ilmunya dariku.
7.   Dan diantara adab murid hendaknya memilih ridho guru walaupun menyelisihi pendapatnya. Dan tidak mencela dihadapannya. Dan tidak menyebarkannya secara sembunyi-sembunyi. Dan hendanya membantah aibnya jika ia mendengarnya. Jika ia lemah hendanya ia berpisah dari majlis.
8.   Dan janganlah masuk kecuali dengan izinnya. Dan jika masuk satu kelompok hendaklah mendahulukan yang lebih utama dan lebih tua.
9.   Dan hendaklah masuk dengan keadaan yang paling baik, kosongnya hati dari berbagai kesibukan, bersih dengan siwak, memotong kumis, serta menghilangkan bau yang tidak sedap.
10.  Dan memberikan salam terhadap seluruh hadirin dengan suara yang bisa diderkan seluruh ruangan. Dan menghususkan terhadap syaikhnya sebagai tambahan penghormatan, demikian pula memberi salam ketika keluar majlis. Dan dalam sebuah hadist ada perintah tentang hal tersebut serta tidaklah berpaling pada siapa saja yang mengingkarinya. Dan telah kami permasalaahn ini dalam kitab al adzkar.

Keberadaan murid dihadapan gurunya ibarat mayit atau bangkai yang tak berdaya apa-apa. Ia seperti seorang yang memasrahkan dirinya secara total pada guru atau Syekhnya. Karena thariqat adalah jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri pada Allah, maka seorang murid harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
2.      Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak dan guru, dan melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya.
3.      Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.
4.      Berbuat dan mengisi waktu seefesien mungkin dengan segala wirid dan doa guna pemantapan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat yang lebih tinggi.
5.      Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal. 

c) Silsilah ( Transmisi)

Silsilah dalam ajaran thariqah mengacu pada garis keguruan beruap urutan-urutan nama para guru yang mangajarkan dasar-dasar thariqat secara turun menurun. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi seorang guru, yaitu menunjukkan ke cabang thariqat mana ia termasuk dan bagaimana hubungannya dengan guru-guru thariqat lainnya. 
Dibawah ini terdapat beberapa salasul. Rabbani menyebutkan setidaknya ada lebih dari 40 salasul. Beberapa diantara salasul yang terkenal adalah:
1.      Silsilah Qadiriyah. Nama ini merujuk pada Abd al-Qadir al-Jilani, ia adalah khalifah dar Abu Said Makhzumi, khalifah dari Abu al-Hasan Ali al-Qarshi, khalifah dari Abu al-Farah al-Tartusi, khalifah dari Junayd al-Baghdadi bersambung terus sampai Imam Ali. Al-Jilani meminta jubah kekhalifahan melalui jaringan keturunan Imam Hasan bin Abi Thalib dengan 11 jaringan di antaranya.
2.      Silsilah Yasuya. Dipimpin oleh Ahmad Yasui yang dikenal sebagai “Shaykh of Turkistan”. Dia adalah khalifah Yusuf Hamdani, khalifah Ali Farmadi (Shaykh Abu Hamid al-Gazali), khalifah Abd al-Qasim Gorgani, khalifah Abu Usman Maghribi, khalifah Abu Katib, khalifah Abu Ali Rodbari, khalifah Junayd Baghdadi terus hingga ke Imam Ali. Ahmad Yasui juga memperoleh jaringan ke Imam Ali dari para shaykh melalui Muhammad Hanafiyah, anak Imam Ali dari istri lainnya.
3.      Silsilah Naqshabandiyah. Dinamai dengan nama Bahau al-Din Naqshaband. Dia adalah khalifah Amir Syed Kalal, khalifah Muhammad Samasi, khalifah Ali Ramatani, khalifah Mahmud Abu Khayr Faghnavi, khalifah Arif Regviri, khalifah Abd al-Khaliq Ghayidwani, khalifah Yusuf Hamdani, khalifah Ali farmadi, khalifah Abu al-Qasim Gorgani, yang berjaring ke atas dengan Junayd al-Baghdadi dengan 3 jaringan di antaranya. Abu al-Qasim juga berjaringan ke atas dengan Abu Bakar melalui Abu al-Hasan Khargani, Abu Yazid al-Bistami, dan Ja’far Shiddiq.
4.      Silsilah Nuriyah. Dinamai dengan Shaykh Abu al-Hasan Nuri. Dia adalah khalifah dari Sari Saqti.
5.      Silsilah Khazruyah. Diambil dari nama Ahmad Khazruya yang merupakan khalifah dari Hatim Asum, khalifah Saqiq Balkhi, khalifah Muhammad Ali Ishqi, khalifah Ibrahim Adham yang menerima kekhalifahan dari Fudhayl bin Ayyas sebagaimana Imam Muhammad Baqir, cucu Imam Hussein.
6.      Silsilah Shattariyah. Dari Muhammad Arif, khalifah Muhammad Ali Ishqi, khalifah Shaykh Khuda Qali Mawara al-nahri, khalifah Abd al-Hasan al-Ishqi, khalifah Abi Mudhaffar Mawlana Turk Tusi, khalifah Bayazid al-Ishqi, khalifah Muhammad Maghribi, khalifah Abu Yazid al-Bistami hingga Imam Ali.
7.      Silsilah Sadat Karram. Pemimpin silsilah ini adalah Jalal al-Din Bukhari, khalifah leluhurnya dari imam-imam Ahl al-Bayt dengan 15 jejaring antara dia dan Imam Ali. Dia menerima lebih dari 2 jubah kekhalifahan. Satu dari Shaykh Rukun al-Din Suhrawardi, cucu dari Bahau al-Din Multan, yang lain dari Shaykh Nasir al-Din khalifah dari Nizam al-Din Awlia, khalifah Baba

d) Zikir dan Wirid

Zikir dan wirid adalah salah satu teknik untuk bermeditasi dan berkonsentrasi dalam rangkai mencapai ma’rifatullah. Teknik-teknik ini disusun oleh guru-guru thariqat yang kemudian dipergunakan untuk membimbing murid-muridnya. Masing-masing organisasi thariqat memiliki bentuk zikir dan wirid yang berbeda-beda.
Ahli tarekat berkeyakinan, jika seorang hamba telah yakin, jika lahir batinnya dilihat Allah dan segala perbuatan diawasi Allah, dan ucapannya di dengar Allah, segala niat dan cita-cita di ketahui Allah, maka hamba itu akan menjadi sorang yang benar, karena ia selalu ada dalam keadaan memperhambakan dirinya kepada Allah.
Lalu zikir berarti menyebut-nyebut nama Allah atau ma'rifat Allah, yang pada keyakinan mereka itu akan melahirkan dua sifat pada manusia, pertama seorang hamba Allah dan kedua kasih kepada Allah.
Jika seorang hamba Allah takut kepada Allah, maka segala suruhnya akan dikerjakannya dan segala larangannya akan dihentikannya. Seorang yang kasih kepada Allah tentu akan memilih pekerjaan-pekerjaan yang disukai Allah dan menggiatkan dia menjauhkan diri pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak disukai Tuhan.
Pada keyakinan golongan tarekat-tarekat tiap-tiap manusia tidak terlepas dari empat perkara. Pertama manusia itu kedatangan nikmat, kedua kedatangan bala, ketiga berbuat ta'at, dan keempat berbuat dosa. Selama manusia itu mempunyai nafsu yang turun naik, mestilah ia mengerjakan salah satu pekerjaan dari empat macam tersebut. Jika pada waktu itu lupa kepada Tuhan, maka nikmat itu akan membawa sombong, tekebur dan tinggi hati padanya. Tetapi jika ia teringat kepada Tuhan pada waktu ia menerima nikmat itu, sifatnya berlainan sekali, ia syukur kepada Tuhan, yang akan membawa lebih baik kelakuannya.
Dengan alasan itulah golongan tarekat mempertahankan dzikir, tidak saja arti mengingat Allah dalam hati, tetapi menyebut Allah senantiasa kala dengan lidahnya untuk melatih segala anggotanya. Mereka beranggapan, jika segala perbuatan dikerjakan tanpa mengingat Allah, maka mereka beranggapan kegiatan itu adalah kosong, akan hampa dari pahala yang sebenarnya.
Di antara dalil-dalil yang mereka (golongan tarekat) kemukakan adalah sebagai berikut:
1.      Pertama: Kerana mengerjakan zikir itu mengingatkan kepada Allah, dan semata-mata menjunjung nama Allah. Firman Allah: "Hai segala mereka yang percaya kepada Allah sebut olehmu akan Allah dengan sebutan yang banyak dan ucaplah tasbih pada pagi-pagi dan petang- petang". (Quran Al-Mu’minun: 41).
2.      Kedua: Orang yang zikir Allah itu mengingat akan Allah dan Allah mengingat pula akan orang itu. Firman Allah: "Sebut olehmu akan Daku, nescaya Aku menyebut pula akan dikau". (Quran al-Baqoroh: 152).
3.      Ketiga: Dalam zikir Allah itu nyata benar kebesaran Allah, bahkan untuk selama hidup, Firman Allah: "Zikir Allah itu terlebih besar daripada ibadat-ibadat yang lain". (Quran an-Nur: 45).
4.      Keempat: Zikir Allah itu menyembuhkan segaia penyakit di dalam hati Dalam kitab-kitab tasawuf  jumlah penyakit di dalam hati itu ada kira-kira 60 macam. Maka untuk menyembuhkan segala penyakit itu ialah dengan zikir Allah. Sabda Nabi: "Menyebut Allah itu ialah menyembuhkan penyakit. hati ertinya memperbaiki hati". (Hadis Daihumi dari Anas bin Malik).
5.      Kelima: Zikir Allah itu menetapkan hati dan jikalau hati sudah tetap akan segala anggota yang tujuh pun akan tetap pula mengerjakan segala suruhan Allah, demikian sebaliknya. Firman Allah: "Ada pun segala mereka yang iman, yang percaya kepada Allah dan yang tetap hatinya dengan zikir Allah, ketahuilah olehmu bahawa dengan berzikir itu segala hati akan tetap" (Quran ar-Ra’ad: 28).

e) Baiat, Ijazah dan Khalifah

Bai’at dalam bahasan tarekat merupakan janji setia yang biasanya diucapkan oleh calon salik dihadapan Mursyid untuk menjalankan segala persuaratan yang ditetapkan oleh seorang mursyid dan tidak akan melanggarnya sesuai dengan syari’at Islam.
Adapun sesuatu yang melandasi bai’at terdapat pada al-Qur’an surat al-Fath (48) ayat 10: Artinya: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.

1.      Bai’at itu sendiri ada dua macam, yaitu Bai’at Shuwariyah, yaitu bai’at bagi seorang kandidat salik yang hanya sekedar ia mengakui bahwa Mursyid yang mem-bai’at-nya ialah gurunya tempat ia berkonsultasi, dan Mursyid itu pun mengakui, orang tersebut adalah muridnya. Ia tidak perlu meninggalkan keluarganya untuk menetap tinggal dalam zawiyah tarikat itu untuk terus-menerus bersuluk atau berzikir. Ia boleh tinggal di rumahnya dan bekerja sehari-hari sesuai dengan tugasnya. Ia sekadar mengamalkan wirid yang diberikan oleh gurunya itu pada malam-malam tertentu dan ber-tawasul kepada gurunya itu. Ia dan keluarganya bersilaturrahmi kepada gurunya itu sewaktu-waktu pula. Apabila ia memperoleh kesulitan dalam hidup ini, ia berkonsultasi dengan gurunya itu pula.
2.      Bai’at ma’nawiyah, yaitu bai’at bagi seorang kandidat salik yang bersedia untuk dididik dan dilatih menjadi sufi yang arif billah. Kesediaan salik untuk dididik menjadi sufi itu pun sudah barang tentu berdasarkan pengamatan dan keputusan guru tarikat itu. Salik yang masuk tarikat melalui bai’at yang demikian harus meninggalkan anak-istri dan tugas keduniaan. Ia berkhalwat dalam zawiyah tarikat di dalam penegelolaan syekhnya.Khalwat ini bisa berlangsung selama beberapa tahun bahkan belasan tahun.

f) Khalwat dan Suluk

Khalwat adalah kegiatan menyepi untuk sementara waktu dari kesibukan duniawi. Di Indonesia istilah suluk yang secara harfiah berarti menempuh jalan spiritual, lebih lazim digunakan dan lamanya biasanya sepuluh atau dua puluh hari. Selama melakukan khalwat, seseorang makan dan minum sedikit sekali. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk berzikir dan tidak berbicara kecuali pada syekhnya dan hanya terbatas pada soal-soal kerohanian saja. 

3) Thariqat Yang Berkembang Di Indonesia

a) Thariqat Qodariyyah

Thariqat ini didirikan oleh seorang guru (syekh) sufi yang terkenal, yaitu Syekh Abdul Qodir Jailani di Baghdad. Beliau dilahirkan tahun 470 H (1255 M) dan meninggal pada tahun 562 H. Murid-murid Syekh Abdul Qadir Jailani tersebar dimana-mana dan thariqatnya berkembang ke seluruh dunia Islam termasuk Indonesia. Pengaruh thariqat ini cukup banyak meresap di hati masyarakat yang dituturkan lewat bacaan manaqib pada acara-acara tertentu. 

Thariqat ini berkembang dengan pesat. Pada awalnya, murid-murid-murid Syekh Abdul Qadir Jailani mendapatkan ijazah, lalu dengan ijazah ini, murid-murid tersebut mengadakan cabang dari thariqat yang ada di pusat, yaitu Baghdad. Kemudian murid lain pun mengadakan thariqat di tempat lain dimana dia berada, dan seterusnya sampai thariqat Qodiriyyah ini berkembang ke berbagai belahan dunia Islam, seperti Iraq, Turki, India, China, Sudan, Maroko dan Indonesia.

b) Thariqat Rifaiyyah

Thariqat ini didirikan oleh Syekh Ahmad bin Abi al-Hasan al-Rifai, yang meninggal di Umm Abidah pada tanggal 22 Jumadil Awal tahun 578 H (1175 M). Thariqat Rifaiyyah termasuk suatu thariqat besar dengan pengaruh dan pengikut yang besar pula, pendirinya sendiri termasuk seorang yang luar biasa. Banyak pengikutnya sampai sekarang di Mesir. 

Ciri thariqat ini adalah penggunaan tabuhan rabana dalam wiridnya, yang diikuti dengan tarian dan permainan debus. Permainan debus ini berkembang pula di daerah Sunda, khususnya Banten, Jawa Barat.
Salah satu tujuan dari thariqat ini adalah melatih muridnya tahan api, tahan dilukai dan debus (berjalan di atas pecahan kaca) dan mematukkan dirinya sendiri pada ular berbisa. Apabila mereka tidak merasa lagi sakitnya dilukai, dipatuk ular atau menelan kaca dan berjalan di atas api, hal itu pertanda murid itu pertanda murid itu sudah mencapai fana. 

c) Thariqat Naqsyabandiyyah

Thariqat ini didirikan oleh Muhammad Baha’al-Din al- Naqsyabandy (717-791 H/1318-1389 M). Salah satu ajaran dari thariqat Naqsyabandiyyah adalah berzikir di dalam hati atau zikir dengan cara Sirr, tidak dilahirkan. Thariqat ini berkembang di Afghanistan, India, termasuk juga ke Indonesia, yaitu daerah Sumatra, Jawa, maupun Sulawesi.

d) Thariqat Samaniyyah

Thariqat ini didirikan oleh Syekh Saman yang meninggal pada tahun 1720 M di Madinah. Thariqat ini banyak tersebar luas di Aceh, dan memiliki pengaruh yang besar pada daerah ini, juga di Palembang serta daerah lainnya di Sumatra.

Ciri thariqat ini adalah zikirnya dengan suara keras dan melengking, khususnya ketika mengucapkan lafadz la ilaha illa Allah. Juga terkenal dengan nama ratib Saman yang hanya mempergunakan perkataan “hu”, yang artinya Dia Allah. Syekh Saman ini juga mengajarkan agar memperbanyak sholat dan zikir, kasih pada fakir miskin, jangan mencintai dunia, menukar akal basyariyyah dengan akal robaniyyah, beriman hanya kepada Allah dengan tulus ikhlas. 

e) Thariqat Syadziliyyah

Thariqat ini didirikan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili, seorang sufi aliran suni. Dia berasal dari Sadzilah, Tunisia dan di sana ia bersama para muridnya pergi ke Mesir lalu tinggal di kota Iskandariyyah, sekitar tahun 642 H. Thariqat ini berkembang di Andalusia, Indonesia, Afrika Utara, Afrika Barat, Mesir, dan berbagai negara Arab lainnya. 

f) Thariqat Khalwatiyyah

Thariqat ini didirikan oleh Syekh Zahiruddin di Khurosan dan merupakan cabang dari thariqat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu al- wajib al-Suhrawardi. Thariqat ini mula-mula tersiar di Banten pada masa pemerintahan Tirtayasa. Thariqat ini banyak pengikutnya di Indonesia karena suluk dari thariqat ini sangat sederhana dalam pelaksanaannya. Untuk membawa jiwa dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi melalui tujuh tingkat, yaitu peningkatan dari nafsu amarah, lawwamah, mulhammah, muthmainah, radhiyyah, mardiyyah dan nafsu kamilah.

4) Tata Cara Pelaksanaan Thariqat
Tata cara pelaksanaan thariqat antara lain sebagai berikut:

a.       Zikir, yaitu ingat yang terus-menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan namanya dengan lisan. Zikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi hati, ucapan dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.
b.      Ratib, yaitu mengucap lafal la ilaha illa Allah dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
c.       Muzik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumentalia) seperti memukul rebana.
d.      Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan tertentu untuk menimbulkan kekhidmatan.
e.       Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar